Pernikahan dini? yes or no?
Source image : https://nasional.sindonews.com/ |
Halo, Teman-teman! Selamat hari minggu!
Hari minggu ini waktunya gue menghabiskan waktu bersama nyokap, kami biasa mengisi hari Minggu dengan obrolan-obrolan ringan tentang isu sosial. Lalu gue tertarik dengan satu persoalan, nikah muda. Kebetulan, sembari mengobol, gue juga sedang membuka sebuah portal berita online untuk sekedar membaca-baca berita yang gue lewatkan dalam beberapa hari.
Di sebuah portal berita, https://www.sindonews.com/ ada sebuah judul yang berkaitan dengan isu yang akan gue angkat dalam postingan kali ini. Kalian bisa lihat sendiri postingannya jika ingin membaca artikel tersebut.
Disini gue akan membahas persoalan ini dalam sudut pandang gue serta dalam pengalaman yang gue saksikan di dalam lingkungan tempat tinggal gue. Sebelumnya gue mau jelasin kalau postingan ini tidak bermaksud untuk menggurui siapapun, jadi bila dirasa postingan gue ada yang keliru silahkan benarkan dan tegur gue. Gue sendiri belum menikah jadi mungkin di mata sebagian orang membahas topik pernikahan dengan seorang yang belum menikah adalah hal yang konyol, ya tidak apa-apa jika ada yang berpendapat seperti itu. Tetapi menurut gue tidak ada masalah, karena postingan ini bertujuan agar gue dapat menyampaikan pandangan gue terhadap pernikahan dini yang gue anggap sebagai fenomena gunung es.
Lingkungan rumah gue yang dulu (beda RT doang sama yang sekarang) ada beberapa anak dibawah umur yang melangsungkan pernikahan. Faktornya macem-macem, ada yang Married by Accident (MBA), atau ada juga yang mendapat dorongan menikah pada usia dini dari orang tuanya sendiri (ini serius), zaman yang semakin maju dan sulit untuk mengontrol remaja menjadi alasan mereka memutuskan untuk menikahi anaknya pada usia dibawah umur. Di luar dua faktor yang gue sebutkan mungkin ada bermacam-macam faktor lainnya, namun dua faktor tersebut ialah faktor yang menajdi alasan adanya pernikahan dini di dalam lingkungan tempat gue tinggal.
Dalam UU-RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pada Bab II Pasal 7 menyebutkan bahwa Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun. Sedangkan menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional atau yang disingkat BKKBN (dikutip dalam https://ugm.ac.id/) usia menikah yang baik ialah 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki.
Banyak dampak yang disebabkan dari adanya pernikahan dini, mulai dari kekerasan rumah tangga, perselingkuhan hingga tak sedikit pula yang berujung pada perceraian. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? mari kita bahas.
1. Karena kedua pihak belum sepenuhnya siap dalam membina rumah tangga.
Source image: https://www.google.co.id/ |
Mulai dari kesiapan finansial, ini yang kerap kali terjadi dalam lingkungan tempat gue tinggal. Karena gue tinggal di daerah perkampungan jadi seringkali masyarakat yang hidup di dalamnya (termasuk gue) berasal dari kelas ekonomi menengah, putusnya sekolah bukan lagi sesuatu yang mengkhawatirkan, akibatnya sulitnya pencarian kerja yang layak dengan ijazah seadanya melahirkan angka pengangguran.
Pernikahan memang tidak menuntut adanya kekayaan finansial, tapi paling tidak, cukup untuk menghidupi sebuah rumah tangga. Kadar cukup untuk setiap orang tentunya berbeda, jika dirasa finansial yang ia miliki sudah cukup untuk menghidupi sebuah rumah tangga maka hal tersebut dapat menjadi salah satu alasan yang mendukung terjadinya sebuah pernikahan. Sementara kalau dirasa belum siap secara finansial sebaiknya dipikir-pikir kembali.
Sebenernya gak sepenuhnya salah jika orang tua mempertimbangkan faktor finansial dalam memutuskan seeorang yang akan mendampingi anaknya, terlebih lagi bagi orang tua pihak perempuan. Mana ada sih orang tua yang rela menikahkan anaknya dengan pengangguran yang pemalas? atau dengan orang yang menghidupi dirinya sendiri saja belum mampu, dia masih menerima uang dari orang tuanya. Kesiapan finansial menurut gue bukan disaat oramg itu memiliki rumah mewah atau mobil, dari hasil turunan orang tuanya. tapi bagi gue kesiapan finansial ialah ketika orang itu telah mampu menghidupi dirinya dan keluarganya dengan hasil kerja kerasnya sendiri.
Bukan hanya kesiapan finansial, melainkan kesiapan psikologis juga merupakan hal yang sangat penting dalam membangun sebuah rumah tangga. Setiap orang memiliki cara tersendiri dalam menghadapi sebuah persoalan dalam hidupnya, terlebih lagi dalam rumah tangga. Menyelesaikan persoalan pribadi saja bukan hal yang mudah, apalagi sebuah persoalan rumah tangga yang didalamnya terdapat beberapa kepala. Tentunya sangat dibutuhkan kesiapan secara psikologis. Jangan sampai ketika mentalnya belum siap namun ia telah dihadapi dengan persoalan-persoalan yang tidak mudah. Bukannya mencari solusi melainkan malah mencari pelampiasan dalam permasalahannya, Bisa jadi dengan melakukan kekerasan dalam rumah tangga, contohnya. Kematagan psikologis dapat dilihat dari seseorang menghadapi masalah atau konflik dalam hidupnya. So, jika kita merasa kondisi psikologis kita belum siap untuk membina sebuah rumah tangga lebih baik berusaha untuk memperbaiki diri dulu, ya.
2. Tidak memahami tujuan sebenarnya dari pernikahan sehingga merasa sulit dalam berkomitmen.
Source image: https://www.google.co.id/ |
Komitmen merupakan hal yang penting dalam sebuah pernikahan. Psikolog Ayoe Soetomo (dalam https://nasional.sindonews.com/) mengungkapkan, masyarakat selama ini masih meremehkan tujuan dari pernikahan. Bila komitmen untuk menyamakan tujuan dari pernikahan tidak pernah ada, secara otomatis keluarga yang dibina pun tidak akan kuat. Gue setuju dengan pendapat beliau, bagi gue anak yang masih dibawah umur lalu mereka memutuskan untuk membangun sebuah rumah tangga seringkali mereka tidak memahami apa sebenarnya tujuan dari pernikahan yang mereka jalani. Terlebih lagi mereka yang menikah karena MBA, mereka menganggap bahwa yang dibutuhkan dalam pernikahan ialah hanya sebuah cinta. Padahal sebenarnya komitmen inilah yang membuat mereka bertahan atas hubungannya. Komitmen yang menuntut orang untuk setia, komitmen pula yang menuntun seseorang kembali kepada rumahnya disaat ia ragu terhadap cinta yang dimilikinya. Komitmen yang membuat orang lain berhenti melirik keindahan-keindahan lain disaat ada badai yang sedang menerjang hubungannya.
3. Kurangnya ilmu pengetahuan tentang parenting.
Source image: https://www.google.co.id/ |
Ketika gue mulai terjun dalam dunia keguruan, spesialis anak berkebutuhan khusus, gue merasa bahwa ilmu yang gue miliki tentang parenting sangat minim sekali, gue baru menyadari hal-hal yang sebenarnya sangat penting untuk gue pelajari namun belum pernah gue pelajari. Sebagian dari pasangan yang memutuskan untuk menikah lupa untuk mempelajari ilmu parenting, alhasil mereka tidak tahu bagaimana seharusnya mendidik anak mereka. Atau ada juga sebagian dari mereka yang menerapkan anggapan Learning by doing. Memang benar teori dan praktek terkadang tidak melulu sesuai, namun bukan berarti selalu berbanding terbalik, bukan? Kita bisa menjadikan sebuah teori sebagai dasar dan pondasi dalam mempraktekan suatu ilmu, menurut gue begitu.
4. Sistem reproduksi remaja perempuan yang belum sepenuhnya matang.
Source image: https://www.google.co.id/ |
dr Cynthia Agnes Susanto, B. Med. Sc (dalam https://healt.detik.com/) menuturkan bahwa ada beberapa efek atau bahaya yang timbul jika seseorang menikah terlalu muda (dibawah 20 th), yaitu:
- Secara organ reproduksi ia belum siap untuk berhubungan atau mengandung, sehingga jika hamil beresiko mengalami tekanan darah tinggi (karena tubuhnya tidak kuat). Kondisi ini biasanya tidak terdeteksi pada tahap-tahap awal, tapi nantinya menyebabkan kejang-kejang, perdarahan bahkan kematian pada ibu atau bayinya.
- Sel telur yang dimiliki oleh perempuan tersebut belum siap.
- Berisiko mengalami kanker serviks (kanker leher rahim), karena semakin muda usia pertama kali seseorang berhubungan seks, maka semakin besar risiko daerah reproduksi terkontaminasi virus.
Kebanyakan pasangan yang menikah dibawah umur yang telah ditentukan, tidak menyadari bahaya-bahaya ini. Mereka menganggap bahwa hubungan seks di usia muda tidak akan memiliki resiko apapun terhadap kesehatannya.
Jadi menurut gue, pernikahan dibawah umur bukan satu-satunya solusi dari ketakutan-ketakutan orang tua akan pergaulan yang ada pada era ini, pembentukan karakter yang kuat ialah solusinya. Pernikahan dibawah umur ialah sesuatu yang bisa menimbulkan masalah-masalah lain, meski tidak semuanya. Penelitian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik dan Badan PBB untuk Anak-Anak (Unicef) menemukan bahwa angka pernikahan dini di Indonesia tergolong tinggi, pada kisaran 25% dari total pernikahan dalam setahun. Persentase tersebut mengalami kenaikan sejak 2010, seiring dengan meningkatnya persentase perceraian di Indonesia (dikutip dari laman http://www.republika.co.id/).
Pentingnya edukasi tentang pernikahan ialah hal seharusnya disadari oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, bukan malah hanya memproklamirkan #AyoNikahMuda tanpa memberitahu resiko yang akan dihadapinya. Gue tahu hal tersebut baik, jika dibandingkan dengan pacaran. Tapi akankah lebih baik jika dilakukan dengan kesiapan? kesiapan finansial, psikologis, ataupun kesiapan psikis. Kesiapan finansial bukan berarti seseorang tersebut harus kaya, kesiapan psikologis bukan berarti orang tersebut harus menyelesaikan pendidikan S3nya sehingga baru dikatakan mentalnya kuat, serta kesiapan psikis bukan berarti orang tersebut harus menikah diatas 30 th. Tidak, tidak seperti itu.
Yang gue maksud gini loh, jangan kebelet nikah disaat yang menyelesaikan urusan rumah tangga aja masih emak lo. Jangan kebelet nikah kalo kerja aja males-malesan. Jangan kebelet nikah kalo lo sendiri masih ngerengek minta duit ama emak, disaat mau nongkrong sama temen. Jangan kebelet nikah disaat lo masih berseragam sekolah (ganti baju dulu sebaiknya wkwkw, et kaga kaga), ada tanggung jawab lain yang harus terlebih dahulu lo selesaikan. Lihat orang tua lo, apa lo sudah merasa cukup menikmati waktu yang lo miliki bersamanya? Ya emang nikah bukan jadi penghalang untuk lo menikmati waktu bersama orang tua, tapi tentunya harus terbagi-bagi, bukan? Karena udah beda prioritas.
Jangan sia-siakan waktu kita dengan orang tua hanya karena kita sibuk berburu pasangan. Lebih baik, sembari menanti kesiapan kita, kita nikmati waktu bersama orang-orang yang saat ini hadir dalam hidup kita, kita isi otak kita dengan pengetahuan-pengetahuan, pengetahuan tentang agama maupun dunia. Kan kita gak pernah tau akan dipertemukan dengan jodoh atau kematian, terlebih dahulu, ya? Tenang aja, bukankah semua makhluk diciptakan berpasang-pasangan? kalau tidak di dunia berarti di akhirat. Ya emang semua juga maunya di dunia, gue juga begitu. Tapi hidup sudah ada yang mengatur, Dia yang tahu segalanya. Kita berbaik sangka aja terus, ya!
Menikahlah ketika kamu telah siap secara psikologis, financial, serta psikis, bukan karena kamu hanya ikut-ikutan tren. Menikahlah ketika kamu telah siap dengan segala resiko yang akan dihadapi dalam sebuah rumah tangga, bukan hanya ketika kamu telah mengetahui hal-hal indah dalam rumah tangga. Menikahlah, temukanlah seseorang yang dapat menghargai kita sebagai teman hidupnya.
Ingat juga, orang yang berani berkomitmen ialah orang yang luar biasa. So, jika kalian sudah cukup siap, menikahlah! jangan ditunda-tunda, ya!
Komentar
Posting Komentar