Tidak sampai besok
"Belum dapat kabar, lagi?" tanya sosok laki-laki gagah yang kupanggil ayah,
Mungkin ayah risau, sejak beberapa hari yang lalu aku senang sekali menatap layar gadgetku dengan gusar, tanganku membuka tutup aplikasi hijau, tempat kami biasa bertukar pesan, aku menanti pesan dari seseorang yang tidak kunjung datang. Sudah empat hari tepatnya.
Aku menarik nafas dan menghembuskannya dengan sedikit kasar, "Belum, atau gak akan pernah ada kabar lagi, ya, yah?" kataku kecewa, ayah yang sejak tadi berada sedikit berjarak denganku, kini menggeser posisi duduknya lebih dekat denganku.
Tangan lembut ayah membelai rambutku, tangan ayah tidak pernah berubah, masih tetap hangat. Ayah selalu mengatakan bahwa dari kecil aku adalah putri kesayangan ayah, kami begitu dekat sampai ayah mengetahui segala yang terjadi padaku. Termasuk kedekatanku dengan seseorang.
Ayah tersenyum, tangannya tidak berhenti membelai rambutku,
"Kalau bicara sebagai ayahmu, tentu ayah kecewa dengan sikap Rafa.." kalimat ayah terhenti sejenak, "Sebagai laki-laki, sangat tidak bijak rasanya membuat perempuan menunggu dengan tidak pasti, tapi ayah paham, mungkin Rafa kecewa dengan yang terjadi beberapa hari lalu, Rafa butuh tenang, atau bisa saja ia sudah mulai mempertimbangkan jalan lain." ucap ayah dengan nada semakin rendah di ujung kalimatnya.
Mendengar kalimat ayah, dadaku kembali sesak.
Beberapa hari lalu, hari di mana aku tidak pernah membayangkan hal konyol seperti itu terjadi padaku.
Aku memang baru beberapa bulan terakhir dekat dengan Rafa, meski sudah lebih dari sepuluh tahun mengenalnya, tapi baru saat ini kami merasakan kedekatan yang lebih dari sekadar teman, kuyakini Rafa juga merasakan hal yang sama. Mengenal lebih dekat sosok Rafa membuatku tenang dan senang bersamaan. Laki-laki sederhana yang punya senyum indah, senyum yang mampu membuatku mengerti bahwa hal sederhana seperti sebuah senyuman mampu meluluhkan kerasnya hati.
Aku mungkin terlalu percaya diri, karena sosok Rafa yang tenang membuatku merasa bahwa hubungan kami akan baik-baik saja. Nyatanya aku terlalu menyepelekan hal-hal lain di luar itu. Aku lupa bahwa badai yang kencang bisa datang dari ombak yang tenang. Meski bukan karena Rafa, tapi karena kesalahanku atau karena hal lain yang diluar kita.
"Ayah, aku gak ngerti harus apa.." kataku menggeleng, air mata yang sejak tadi aku tahan kini tumpah, aku menenggelamkan kepalaku ke dada ayah,
"Aku sayang Rafa, tapi sepertinya semua hancur karena aku, hancur bahkan sebelum dimulai." tangisku pecah, semakin kencang. Tangan yang sejak tadi membelai rambutku kini berganti mengisi punggungku dengan sentuhan hangat.
Ayah diam, bibirnya terkunci, ia memandang langit-langit kamarku. Matanya memancarkan kesedihan. Rupanya seperti itu sosok orang tua, meski tidak mengalaminya, ia akan merasa kesakitan jika anak-anaknya terluka. "Ayah tau kamu orang baik, Naya." ucap ayah.
"Tapi aku salah ayah." kataku mengelak pernyataan ayah,
"Orang baik bukan berarti gak bisa salah, Naya. Kesalahan menunjukkan bahwa kamu juga manusia biasa. Kamu juga sedang belajar, kamu tidak melakukan itu dengan sengaja, kan?" tanya ayah yang kubalas dengan gelengan.
"Naya, kita gak pernah punya kunci jawaban atas semua masalah yang terjadi, yang kamu harus tau bahwa diantara kesalahan-kesalahan yang sudah dan akan kamu buat, kamu tidak melakukannya sengaja untuk menyakiti seseorang, Naya. Ayah percaya putri ayah, bukan semata karena kamu anak ayah, tapi ayah tau nilai-nilai yang Naya pegang sejak kamu kecil." Kalimat ayah berusaha menenangkan gemuruh dadaku yang penuh dengan rasa takut beberapa hari ini.
Sebelum membuka mulut aku menghapus air mata yang membasahi pipiku, "Ayah, aku gak pernah menyangka bahwa Alam akan seperti itu, andai aku lebih dulu lebih menegaskan pada Alam bahwa tidak ada lagi harapan yang harusnya ia simpan dalam hatinya, tentang hubungan kami. Aku mengira Alam sudah mengerti semuanya, semua isyarat, semua perlakuanku padanya yang berarti penolakan, tapi ternyata tidak. Sampai pada akhirnya aku menyebabkan segala kekacauan ini. Aku menciptakan ketakutan baru pada Rafa, ayah."
Ayah menarik tangannya, mengambil cangkir berisi air lalu memberikannya padaku, "Minum dulu," kata ayah lembut. Aku mengiyakan perintah ayah, meneguk secangkir air setidaknya dapat meredakan sedikit sesakku, meski beberapa detik kemudian sesak itu kembali dan tidak juga hilang.
"Kita gak pernah tau akan bertemu orang seperti apa, Naya. Bagimu kamu dan Alam sudah jelas, tapi tidak bagi Alam. Mungkin Alam sudah mencintaimu dengan sangat besar, baginya tidak ada jalan lain selain memiliki-mu. Meski ayah tahu bahwa kita tidak bisa mengatur sepenuhnya apa yang hati inginkan tapi mencintai seharusnya tidak memaksakan kehendak orang lain." Ayah mengatakannya dengan hati-hati, aku bersyukur, diantara masalah yang kian datang berganti, ayah masih di sampingku.
Semua yang ayah katakan benar, aku keliru, aku salah mengira bahwa apa yang aku lakukan sudah cukup menjadi jawaban bagi Alam.
"Sejak empat hari lalu aku sudah mengatakan bahwa aku tidak pernah mencintai Alam ayah, aku tau aku salah, aku gak akan mengulanginya lagi, aku sekarang jadi takut sama Alam, takut dia nekat lagi, ayah. tapi.. aku juga gak punya cukup keberanian untuk menghampiri Rafa ayah." Ucapku, seolah tau apa yang membuatku khawatir, ayah memelukku lembut.
"Gak ada yang akan tega nyakitin putri ayah, dunia akan melembut padamu Naya, kamu hanya perlu memaafkan hari kemarin, berusaha jadi lebih baik, dan terima bahwa apapun nanti keputusan Rafa, itu adalah jawaban yang harus kamu yakini."
Ayah benar, menerima, menjadi hal yang sangat sulit dilakukan saat semuanya terasa kalut.
"Ketika ayah jatuh cinta sama ibu dulu, apakah ayah bisa memaafkan kesalahan ibu?" tanyaku sontak membuat ayah menarik lengkung bibirnya,
"Kamu akan menemukan pria yang akan selalu memaafkan ketidaktahuanmu, kekeliruanmu juga kelakuanmu yang mungkin bagi sebagian orang akan terasa mengganggu. Naya, perasaan cinta orang dewasa itu tidak menggebu seperti remaja, ia terasa sederhana, hangat dan tenang. Kamu akan merasa tenang ketika menemui pasangan yang padanya kamu tahu bahwa seperti apapun kondisimu kamu akan selalu diterima, ditemani bertumbuh menjadi lebih baik, setiap harinya." Mata yang sejak tadi aku lihat murung berganti menjadi hangat, tatapan teduh dan lengkung bibir yang begitu saja muncul, meski ibu sudak tidak ada tapi aku tahu, bagi ayah ibu akan terus ada dalam hatinya.
"Bagaimana cara ibu mengetahui bahwa ayah mencintainya?" begitu saja kalimat itu muncul dari bibirku, kalimat lamunan yang sebenarnya aku harap aku bisa tanyakan pada ibu,
Ayah menatap mataku teduh, aku melihat ada sosok ibu di mata ayah, ibu merupakan perempuan yang sangat lembut dan hangat, meski begitu ibu tidak pernah kehilangan keceriaan di sudut bibirnya, kata ibu, senyum adalah daya tarik perempuan, kelak senyum yang perempuan miliki akan menjadi sumber ketenangan bagi laki-laki yang menjadi pasangannya.
Entah ini hanya harapanku atau halusinasiku saja karena begitu merindukannya, aku seperti melihat ibu sedang bersamaku dan ayah saat ini,
"Naya, mengetahui laki-laki mencintaimu itu mudah sekali, ia mahluk sederhana, jika ia mau ia akan berusaha sekuat tenaga untuk tetap bersamamu, tetapi jika ia tidak mau denganmu, meski seribu jalan telah kamu sediakan untuknya dengan mudah, maka ia akan terus saja mencari alasan untuk tidak bersamamu. Lihat apakah ia punya keberanian untuk berjalan ke arahmu, atau tidak,"
"Itu menurut ayah," seolah mengetahui gumaman hatiku, ayah menambahkan kalimatnya.
Aku dan ayah sontak tersenyum,
"Lalu bagaimana jika dia sedang ragu dan khawatir pada banyak hal, sehingga rasanya sulit berjalan ke arahku, ayah." Kataku kembali berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang memenuhi kepalaku,
Ayah menggelengkan kepalanya,
"Dia seorang pria, Naya, serumit apapun isi kepalanya, pria tetaplah pria, ia tetap tau ke mana harus berjalan. Berbeda halnya seperti perempuan yang tidak didesain mampu mengambil keputusan dengan tegas, mungkin menurutmu ia kebingungan, tapi baginya itu adalah sebuah jawaban untukmu, Naya. Semakin lama ia mengambil waktu, bisa jadi itu adalah sinyal untukmu berhenti berharap, Naya. Dia bukan sedang kebingungan, tapi ia sedang memutuskan memilih jalan lain. Kenyataan pahit yang sepertinya kamu harus dengar." Ucap ayah, seketika seperti ada bola yang menghantam kepalaku keras,
Rafa, apakah yang ayah katakan benar?
apa aku hanya berusaha menghibur perasaanku beberapa hari ini? apakah kamu sedang mencari jalan lain yang bukan aku, Rafa?
apakah kamu ingin mengubur mimpi mimpi kita yang baru saja dimulai?
Rafa, aku tidak punya keberanian untuk bertanya, semoga saja kamu punya ketegasan untuk mengatakan yang sebenarnya.
"Jika dia memang masih ragu untuk melanjutkan atau berhenti denganmu, setidaknya dia tidak akan tega melihatmu menunggu kabarnya, ayah rasa, tidak perlu menunggu lebih lama Naya, bahkan satu hari ayah tidak dengar kabar ibu, rasanya tidak tenang. Jika ayah rasa ayah memerlukan waktu untuk sendiri, ayah akan beritahu ibu untuk menunggu berapa lama, bukan membiarkan ibu dalam ketidakpastian, dan hanya menunggu berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu."
"Laki-laki dewasa selalu tau apa yang dia mau, Naya." Ayah mengakhiri ucapannya tanpa keraguan, semua yang ayah katakan benar, kami bukan remaja lagi, kami orang dewasa, yang sudah seharusnya tahu apa yang kami mau.
"Rasanya sulit mengakhiri yang belum sempat dimulai, ayah." Ucapku menanggapi perkataan ayah,
ayah mengangguk, "Memang, tapi ayah harap kalian punya keberanian untuk bicara baik-baik, tidak membiarkan hari demi hari yang hening membuat jarak kalian semakin jauh. Jarak yang jauh seringkali membuat kita lupa arah jalan kembali, dan sebagian besar hubungan dewasa bukan mati dan layu karena hal besar, melainkan karena hal kecil yang tertumpuk menjadi besar. Ayah memang senang jika Naya dan Rafa dapat bersatu, tapi jika bukan kamu yang Rafa mau, kamu harus terima, Naya."
"Semoga, tidak sampai besok, Naya..." ayah menarik nafas, memberikan jeda pada ucapannya,
"Tidak sampai besok kamu terus menunggu, tidak sampai besok kamu membohongi dirimu sendiri, tidak sampai besok kamu berdiri diatas ketidakpastian, tidak sampai besok kamu ragu dan merasa bahwa kamu harus terus menunggu atau berhenti. Semoga Rafa menemukan keyakinan-nya, Naya. Kita seringkali lupa bahwa waktu yang kita habiskan hari ini sebenarnya adalah waktu yang kita pinjam dari masa depan, dan waktu yang kita pinjam itu harus dibayar kembali, Naya."
Ayah benar, Rafa.
awalnya aku mengira bahwa memberikan kamu waktu sebanyak mungkin dapat membuat kamu semakin yakin, tapi bisa jadi aku keliru, memberikan kamu waktu sebanyak mungkin, tanpa tahu sampai kapan, justru membuat jarak diantara kita semakin lebar, hingga kita merasa asing dengan sendirinya, dengan keheningan yang kita ciptakan, dengan meng-atasnamakan 'kita perlu menenangkan diri', rasanya sangat tenang bahkan aku tidak bisa mendengar langkah kakimu.
Jika memang ayah keliru, semoga kembali memulai adalah jawabannya.
Jika memang kamu rasa ingin kembali saat semua masalahnya selesai, maka jika begitu tidak akan pernah ada jalan kembali.
Seperti pada sebuah kutipan yang ku baca,
"Hidup itu isinya memang dari satu masalah ke masalah lain, begitu terus selama kita hidup. Kita tidak akan pernah bahagia jika menunggu semua masalah selesai baru kita boleh bahagia, mengapa kita tidak dapat mencari bahagia diantara setiap masalah yang ada?"
Satu hal yang perlu diketahui bahwa, selama kita hidup masalah akan terus datang berganti, tapi dengan siapa kita melalui sebuah masalah adalah keputusan yang akan menentukan, masalahmu akan semakin besar, atau justru terlihat lebih ringan?
Semoga tidak sampai besok kamu berdiam diri di tempat yang sama, di masalah yang sama.
Komentar
Posting Komentar