Luka itu bernama 'Ibu'
Bunga di atas tanah pemakaman bapak masih segar tercium harum, namun sudah ku lihat ibu menggandeng laki-laki lain, ku tebak usianya hanya berjarak sekitar 10 tahun diatasku. Laki-laki yang entah aku tidak tahu datang dari mana. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, kemeja hitam polos dengan lengan kemeja yang digulung hingga siku, dipadukan dengan celana bahan berwarna coklat susu yang tampak bersih, dan tak lupa sepatu casual senada dengan warna celananya. Dibanding ke pemakaman tampilannya lebih seperti laki-laki mapan yang ingin berangkat kerja di gedung tinggi ibu kota. Aku pastikan, sebelum ia ke sini, ia sempat mampir ke pusat perbelanjaan, terlihat dari paper bag sebuah brand terkenal di tangan kirinya.
Sialan. Dia pikir bapak akan kesal melihat gayanya? batinku.
Aku menyibak separuh kerudungku ke belakang, melempar senyum mengejek pada sepasang kekasih yang sedang menjalani lakon kesedihan,
"Arya, mana?" tanyaku pada perempuan di hadapanku.
Ku lihat tidak ada kesedihan di wajahnya, ia memang menangis, tapi maskara dan blush on-nya tampak begitu nyata untuk orang yang sedang berkabung. Tampaknya pagi tadi ia sibuk memoles riasan di wajahnya dibanding latihan berduka.
"Apa kabar?" perempuan itu mengabaikan pertanyaanku, tangan kiri yang melingkar di lengan pria itu, layaknya akar yang mencari tempat berlabuh pada batang yang kokoh.
"Arya, mana?" tanyaku mengulangi, kali ini dengan penekanan di setiap katanya. Mata tegasnya menatapku dalam dalam, entah apa tujuannya. Dari situ aku masih melihat sosok hangat ibu. Sosok yang dulu selalu ku rindukan, sosok yang kini sudah ku kubur dalam-dalam, ku anggap sudah mati dengan keji, meski raganya kini hadir di hadapanku.
"Nanti dia menyusul ke sini, sepulang les bola." Ucap wanita di hadapanku tanpa rasa bersalah,
Dia belum juga berubah. Aku sempat mengira bahwa kepergian bapak mampu meluluhkan hatinya, mampu membuatnya bertemu dengan penyesalan yang sudah ku nantikan bertahun-tahun, tapi tidak, aku salah mengira.
"Les bola? Ayahnya meninggal dan kamu masih sempat menyuruhnya les bola dulu?" tanyaku mulai gusar.
Kebencianku pada wanita ini belum juga usai. Aku memandang wanita ini seperti duri yang menancap di jantung, perih namun tak kunjung bisa dicabut. Aku tidak selapang bapak, dadaku penuh dengan kebencian yang ingin sekali ku tumpahkan di hadapannya, aku ingin menjambak rambut hitamnya, menyeretnya ke bejana berisi api, membakarnaya hingga dia sadar apa yang dia lakukan kepada bapak, juga kepada anaknya, kepergiannya yang disengaja tidak akan pernah menemui kata maaf dariku, aku ingin sekali merobek bibir merahnya, tapi tidak kali ini, tidak dengan hari kepulangan bapak.
"Ayolah Intan, kamu kan tahu harga les bola adikmu berapa? sayang kalau tidak les dulu, lagipula Arya belum tahu bapaknya meninggal. Nanti setelah selesai latihan kita beritahu, biar dia bisa tetap latihan dengan fokus, Arya kan mau ada turnamen." Perempuan itu seolah menganggap kematian bapak adalah sebuah kelakar.
Bajingan.
Ia memang bukan manusia.
Aku menarik nafas dalam, berusaha tidak menghiraukan perempuan jalang di hadapanku. Aku memutar badanku, kembali berjongkok di depan nisan bapak. Menatap nanar kepergian bapak. Sampai di hari terakhirnya ia tidak juga diberi hadiah berupa cinta dari kekasihnya. Mengapa Tuhan begitu tega pada sosok sebaik bapak?
Apa yang sedang Tuhan siapkan untuk menyambut kepulangan bapak?
Bapak salah memilih pasangan. Ucapku lirih seolah berbicara pada bapak.
"Intan, ini buatmu." Suara asing terdengar dibalik punggungku, laki-laki yang sejak tadi diam kini mengeluarkan suaranya, tangan kanannya menyerahkan papper bag yang sejak tadi bertengger di jarinya.
Aku menggeleng, "Tidak perlu, kau bawa saja, sekalian dengan wanita itu, kau bawa saja yang jauh." aku mengatakan sembari menatap perempuan itu dengan tatapan menghunjam seperti panah, juga seperti badai yang siap menerjangnya tanpa ampun. Aku jamin, jika ada malaikat maut saat ini yang sedang mencari mangsa, akan ku serahkan tubuh wanita itu, meski harus dengan merayu malaikat maut,
tolong bawa wanita ini, aku siap menukarnya dengan apapun.
Begitulah kira-kira rayuanku pada malaikat maut.
"Tapi ini dari ibumu," ucapnya lirih, ia tampak canggung berbicara denganku.
Dalam hatiku, ingin sekali aku bertanya padanya, kamu terlihat baik, mengapa kamu bisa jatuh di perangkap wanita jalang itu? apakah kamu hanya dibayar? atau kamu benar-benar menyukainya? apa yang kamu sukai dari perempuan itu? atau kamu selama ini kurang kasih sayang dari ibumu, sampai kamu mencari cinta yang seumuran ibumu?
Alah persetan, harusnya aku tidak peduli.
Mengingat ucapannya, aku tertawa.
"Cih, Ibu? najis! Ibuku sudah lama mati." Jawabku tertawa getir. Aku melangkahkan kaki pergi meninggalkan tempat peristirahatan terakhir bapak.
Bagiku, ibu adalah awan gelap yang selalu menutupi cahaya. Rasa hormat yang dulu ku genggam kini hancur menjadi abu, berserak diantara kemarahan dan pengkhianatan. Menyisahkan lautan luka yang tak pernah sembuh, luka yang bernamakan, 'Ibu'.
Komentar
Posting Komentar