Yaudah, gitu.

Gara-gara harus melakukan self distance untuk memutus rantai penyebaran COVID-19, udah hampir tiga minggu gue cuma ngeliatin tembok lagi tembok lagi mana beberapa hari ini internet di hp gue rusak (idih ngadu), jadi setiap mau internetan harus nunggu mamah pulang kerja dulu huhu kebayang gak, tuh, gimana bosennya gue? hiburan satu-satunya ya cuma nontonin the biggest game show in the world, thank you, ya, RCTI.
Meski ada rasa gatel banget pengen keluar, main sama temen-temen, gangguin anaknya tetangga, ngeliatin ayamnya si Haidar yang rasanya pengen gue cekek berisik banget abisnya, ke toko buku sambil jalan-jalan sendirian, termasuk ketemu anak-anak di sekolah, tapi tetep harus di tahan, nggak apa-apa di rumah dulu aja karena apa yang sedang kita lakukan ini juga merupakan salah satu bentuk kontribusi dari kita untuk kita, meski kita gak bisa melakukan kontribusi layaknya tenaga medis dalam melawan virus ini tapi jika dilakukan dengan disiplin, semoga ini cukup membantu kita semua, ya. Aamiin.

Ngomong-ngomong tadi gue abis telponan sama temen sekolah gue dan kita punya obrolan menarik di sesi telponan kali ini.

Obrolan kita terkait dengan, 
"Pernah gak, sih, kita membayangkan atau memikirkan seseorang yang sebenarnya gak punya komunikasi yang intens dengan kita, tapi kita bayangkan atau pikirkan dia saat kita sedang merasa tidak baik-baik saja, atau sederhananya saat kita sedang sedih?"

Gue langsung kebayang satu nama pas dia lontarin pertanyaan ini ke gue, karena jawaban gue, ya, ada.
Di sini yang kita maksud bukan sekali dua kali aja disaat kita sedih kita bayangin orang itu, ya, tapi (hampir) setiap kita merasa gak baik-baik aja.
Orang itu bukan orang yang setiap hari komunikasi secara langsung maupun tidak langsung dengan gue, bukan juga orang yang punya hubungan yang spesifik dengan gue, bahkan sampe sekarang gue aja gak tau bisa diartikan apa selain hanya, kenalan, mungkin?

Temen gue melontarkan kata tanya begitu aja, seakan tau gue sendiri sedang memikirkan jawabannya.

"Kenapa dia?" katanya.

"Ya, ngak tau, tiba-tiba aja gitu yang dibayangin malah dia," gue diem sesaat sebelum melanjutkan kalimat gue,

"Aku malah lagi mikir, kenapa bukan orang-orang yang terdekat kita, ya? eh, kamu gitu juga, gak, sih?" sambung gue, yang langsung dijawab dengan sigap oleh dia, "Iya, tapi mantanku! hahaha" terdengar tawanya  nyaring, tentu gue tau siapa orang yang dia maksud.

"Ayo ih dilanjut, kenapa? kenapa dianya belum dijawab dengan jelas!" kali ini terdengar suaranya yang sedikit memaksa, 

"Mungkin, ya, ini mungkin aja, karena dia bisa berentiin segala kekacauan yang lagi aku hadapin, aku pernah baca kalau kebanyakan dari kita yang lagi kalut cuma butuh diberentiin aja, ditegasin kalo semuanya akan baik-baik aja, gak perlu hal-hal yang muluk-muluk." 

"Maksudnya, na?" 

"Ya gak tahu, sih, aku cuma nyari jawaban dari apa yang aku rasain aja. Kalo sama dia aku ngerasa kayak, yaudah segalanya akan baik-baik aja lagi, dia juga padahal gak ngelakuin hal-hal yang besar tapi saat membangun komunikasi dengan dia, saat lagi kalut, tanpa menceritakan sebenarnya aku kenapa aku udah ngerasa lebih tenang aja, kayak segala kebisingan di otak perlahan berhenti aja, gitu? aneh, ya?" jawabku. 

"Enggak aneh, lah! terus setiap kamu ngerasa gak baik-baik aja kamu selalu datang ke dia?" 

Bodohnya, gue menggeleng. 

Gue lupa kalau kita lagi bicara ditelpon tanpa video call, mana liat dia sama gerakan tubuh gue -_-

"Na, ketiduran?" tanya perempuan di sebrang sana, perempuan yang hobinya ngepang rambutnya sendiri.

"Eh, enggak! Ya gak setiap waktu sih, ada kalanya pas lagi gak baik-baik aja atau lagi ngerasa sedih cuma bisa diem aja gitu sambil dalam hati kayak bilang, yaudah santai, nanti juga beres, padahal pikirannya ke mana-mana, selalu mikir kayak, coba aja kalo ada dia, coba aja kalo setiap saat bisa ngehubunginnya tanpa rasa gak enak, mungkin satu sisi karena takut dianggap dateng pas lagi sedih aja, kali, ya?" Kali ini bagian pikiran gue yang udah mulai gak tau ke mana, gue udah gak tau abis itu dia bilang apa, kacau emang.

Gue jadi mikir, kalau nanti, misalkan nih, dia benar-benar gak bisa gue gangguin buat selamanya gimana, ya? 

Kadang kita emang harus siap kehilangan tanpa pernah memiliki, ya. 
Ini memiliki di sini konteksnya dalam hal apapun ya, gak harus cinta-cintaan, bisa tentang perasaan bersahabat, perasaan saudara tanpa hubungan darah, dan lainnya.

Jawaban lain yang gak tersampaikan dari pertanyaan "kenapa" yang temen gue lontarkan adalah, sebenernya sama dia gue gak perlu cerita untuk tenang, mungkin ada beberapa temen gue yang paham kalau gue adalah tipe manusia yang susah banget cerita sama orang lain saat lagi sedih atau kalut, termasuk ke sahabat sendiri yang udah kenal lebih dari sepuluh tahun. Dia gak tau pasti gue lagi kenapa, gak ada orang terdeket gue yang tau-tau ngebuat gue bisa cerita apa yang lagi gue rasain versi sebenarnya, ini dalam hal yang sedih-sedih, ya, tapi anehnya sama dia, gue ngerasa gak perlu bersusah payah untuk nyari kata yang pas untuk cerita, bukan karena ceritanya ngalir, malah kadang gak cerita apa-apa tapi ya udah tenang aja, ih, gak tau, ah! Susah pokoknya digambarinnya hahaha


Kalian pasti ngerti kan maksudnya?


Sama dia, gue ngerasa didenger tanpa harus ngomong, ditenangin tanpa harus dituntut cerita.

Sebenernya ada banyak hal yang mau gue tanya ke dia tapi gak bisa, ya, komunikasi yang kita miliki kayaknya membuat gue merasa "aneh" dan "kikuk" kalau bertanya hal-hal yang gue pikirkan. Ya risikonya adalah gue jadi gak pernah punya jawaban dari pertanyaan yang sebenernya mau gue tanyain ke dia.

Dari kita gak ada yang berani ngelangkah buat ngelewatin garis yang masing-masing dari kita udah buat. Dia tetap berusaha ada di garisnya, dan begitu pun gue, emang bener, kadang, untuk membuat semuanya lebih jelas kita harus lebih berani melewati batas yang udah kita buat, entah sengaja atau nggak ngebuatnya.

Kalau dikasih kesempatan buat bicara tentang ini, gue mau bilang ini ke dia,

"Iya, orang itu kamu, orang yang setiap kali saya ngerasa gak baik-baik aja nama kamu yang saya inget. Betapa lucunya, sejak saya mengenal nama-mu, nama itu yang selalu membuat saya tertawa membayangkan betapa menyenangkannya bayangan saya tentang kamu di dunia nyata. Kalau nanti kamu dan saya  gak punya alasan lagi untuk berkomunikasi, boleh saya tetep terus mengenal kamu meski gak pernah punya kesempatan untuk tau sosok kamu di dunia nyata? aneh, ya, gimana bisa sesuatu yang bisa dibilang 'gak nyata' tapi hadir seakan-akan udah jadi bagian yang gak asing dalam hidup, padahal seharusnya kamu dan saya, sampai detik ini masih asing, kan? dari sekian banyak keasingan dalam hidup kenapa saya mau mempertahankan pikiran bahwa saya mengenal kamu dengan baik sampai detik ini, ya? Ohya, seandainya, sampai ke depannya gak ada kesempatan kita bertegur sapa secara langsung, boleh kalau saya bersikap lancang dengan memintamu menjadi kakak untuk saya? Kapan lagi ada adik semenarik saya, kan? haha! Ya, saya gak bisa jamin sih ke depannya akan seperti apa, siapa juga yang bisa menjamin masa depan? kita kan bukan Tuhan! Seenggaknya, dengan itu saya selalu punya alasan untuk bertanya kabarmu. Saya selalu punya alasan untuk -menganggap bahwa saya- tidak asing di hidup kamu. Salah kalau kamu mikir saya datang ke kamu kalau ada maunya doang, banyak kesempatan setiap saya mau menghubungimu saya selalu hilangkan kesempatan itu karena rasa nggak enak yang saya miliki, ya itu, karena saya selalu merasa ada tembok besar yang membuat saya enggan untuk mengganggu hidupmu, duh, yaudah gitu deh pokoknya, ntahlah. Saya gak punya ekspetasi bahwa kamu sadar dengan ocehan saya kali ini, yang penting saya suka menulis, tidak peduli kamu suka membacanya atau tidak! wlek."

Wah..

Berkat pertanyaan dari teman gue kali ini gue jadi menyapa dia secara gak langsung. Ini sebenernya udah ngisi ruang di kepala gue, muter-muter minta dikeluarin tapi baru kali ini bisa keluar, Thank you, Bel!

Kadang emang selain harus di gapapa-in hidup juga butuh di-yaudahin, ya?
Yaudah kalau nantinya apa yang mau kita sampaikan gak sampai ke pemiliknya.
Yaudah kalau nantinya kita yang satu-satunya harus merasa kehilangan.
Yaudah kalau nantinya tetep ada garis yang gak bisa juga kita lalui.
Yaudah kalau nantinya komunikasi kita hanya sebatas ini.
Yaudah kalau nantinya orang lain lebih memilih asing dan saling melupakan.
Yaudah kalau nantinya kita cuma bisa membayangkan seperti apa dia di kepala kita.
Yaudah kalau nantinya dengan tetap mengingat namanya saja kita sudah merasa lebih baik.
Yaudah kalau nantinya kita dianggap aneh hanya karena apa yang dirasa tidak umum dengan yang mereka rasa.
Yaudah, mau diapain lagi?

Yaudah, namanya juga hidup. Gak melulu apa yang kita inginkan mendapat dukungan semesta, kan?

Yaudah, diterima aja, hehe.

Yaudah, gitu.










Komentar

Postingan populer dari blog ini

Singkat (Virtual Feeling #2)

Marigold

Deep talk