Ngocehin Covid-19

Kali ini gue mau berbicara soal Covid-19 dan dampak yang ditimbulkan akibat pandemi ini. Setelah beberapa pekan belakangan ini gue mencoba untuk membaca beberapa portal berita mengenai Covid-19, menyaksikan kejadian yang ada di sekeliling gue, menonton beberapa tayangan di youtube soal  opini masyarakat, opini dan solusi pemerintah akan isu ini dan tanggapan serta himbauan dari para tenaga medis tentang Covid-19. Udah beberapa kali juga gue mendengar cerita langsung dari mamah. Iya, kebetulan mamah kerja di salah satu layanan medis, yang kadang dengan mendengar ceritanya aja udah membuat gue sakit kepala. 
Tentunya gue gak akan bahas dari segi medis ataupun soal ekonomi, karena itu bukan ranah gue dan gue gak punya kapasitas tentang hal itu jadi gue gak mau asal ngoceh aja, salah salah yang ada gue malah membuat orang yang membaca ini malah tersesat. Ya kayak biasa aja gitu, gue mau ngomongin dari apa yang gue lihat dan apa yang gue dengar, dari apa yang pernah gue baca dan apa yang telah gue amati dari sekeliling gue, sampai akhirnya gue memutuskan untuk berbagi opini dengan bercerita di sini.

Bahasan soal dampak yang ditimbulkan dari Covid-19 ini memang sangat luas dan gak akan bisa semuanya juga gue bahas, tapi gue akan membahas dari segi pendidikan dan juga dari segi sosial yang gue lihat dan alami sendiri di sekitar gue.

Gue sempet bertanya sama temen-temen pengajar soal kegiatan e-learning yang telah dan masih mereka lakukan sampai saat ini. Buat gue dan teman-teman jawabannya gak jauh berbeda, rasanya udah mulai mencapai titik jenuh dengan kegiatan yang kita lakuin. Terutama kami yang bergelut di bidang pengajaran bagi Anak Berkebutuhan Khusus. Temen-temen bisa bayangin ngasih pembelajaran via online kepada anak-anak yang spesial ini harus terus dilakuin sementara kapasitas dalam melaksakan program pembelajaran di setiap anak dan keluarga berbeda-beda. 

Contoh satu kasusnya, anak dengan gangguan konsentrasi disertai dengan hiperaktif diminta untuk melakukan pembelajaran via online, dia diminta untuk menatap gawai orang tuanya dan melaksanakan proses pembelajaran. Hmmm kebayang dong gangguan konsetrasi ditambah hiperaktif pula, belom lagi kalau nih anak belum bisa verbal. Allohuakbar, sungguh indah cobaanmu Tuhan.

Di menit pertama aja dia udah gagal fokus sama gawai, gawai yang seharusnya dijadikan media untuk melaksakan proses pembelajaran beralih fungsi jadi macam-macam, bisa jadi mobil-mobilan, bisa jadi cermin, jadi mainan yang ada dibayangan dia, dll. Saat guru sudah mulai merebut fokus anak, pembelajaran sudah mulai dilakukan namun sering ditemukan beberapa orang tua yang tidak tahan saat anaknya belum mampu secara cepat menjawab pertanyaan yang ditanyakan oleh guru untuk anak mereka, pertanyaan yang seharusnya sudah mampu anak jawab dari mulutnya sendiri harus terlontar dari mulut orang tuanya sehingga anak tersebut hanya membeo (meniru) apa yang diucapkan oleh orang tuanya.

Lima menit berlalu, anak mulai kabur-kaburan, berlari ke sudut sudut ruangan, berguling, berteriak, melompat-lompat, tidak jarang berlari menjauh entah ke bagian mana dalam rumahnya, kena deh orang tua-nya yang harus main kejar kejaran sama si anak. Belom lagi kalau tau-tau anak moodnya sednag tidak bagus, haduh alhasil pembelajaran hanya seputar menyaksikan dia berlari ke sana dan ke mari, meronta saat dicoba untuk ditahan oleh orang tuanya.

Gak selalu juga media pembelajaran seperti Google learning dapat diterapkan, terlebih lagi untuk anak-anak berkebutuhan khusus usia dini, kadang kala kita perlu meminta orang tua  untuk mendokumentasikan kegiatan atau proses belajar anak saat tidak melakukan pembelajaran via meeting di zoom. Idealnya setelah guru memberikan tugas yang harus dilakukan oleh anak, orang tua akan memberi laporan berupa dokumentasi dan hasil kerja dari anak tersebut tapi sayangnya hal ini gak selalu berhasil dilakukan, terkadang ada beberapa orang tua yang lupa mendokumentasikan prosesnya pembelajaran tersebut, alhasil terkadang guru hanya tau hasilnya, padahal sebenarnya bukan hanya itu yang kita butuhkan, kita juga perlu melihat sudah sejauh mana perkembangan dan hambatan apa yang dimiliki anak saat melakukan tugas tersebut, tapi hal itu seringkali gak berhasil tersampaikan.

Bukan salah orang tua juga, banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut gak berjalan dengan semestinya pada beberapa anak, seringkali orang tua tidak mampu mendokumentasikan karena sudah sibuk memegangi anak agar tidak kabur-kaburan, kami paham, bagaimanapun saat pembelajaran di kelas akan sangat sulit membagi fokus antara anak dengan kegiatan lainnya. Beruntungnya tidak ada orang tua murid yang tidak mampu mengakses internet karena tidak memiliki gawai dan jaringan yang cukup, Allhamdulillah, satu hal yang masih gue syukuri karena orang tua anak-anak di sekolah yang gue ajar tidak mengalami hambatan tersebut, karena gue mengajar di sekolah swasta yang mayoritasnya berasal dari kalangan yang sudah mengenal telepon pintar dan akses internet. Tapi gimana dengan teman-teman gue yang mengalami masalah saat beberapa orang tua murid di sekolah yang dia ajar tidak memiliki kemampuan dalam mengakses pembelajaran via online dikarenakan keterbatasan ekonomi. Lalu bagaimana caranya guru dan orang tua mereka saling terhubung?

Temen gue menjawab, beberapa kali pembelajaran harus terlewat begitu saja karena wali murid yang sulit dihubungi, "Yaudah paling gak ada pelajaran apa-apa Na, ya mau gimana, cuma berharap aja orang tua di rumah tetep suportif dalam memberikan pembelajaran, toh apa apanya yang akan dipelajari udah disampein, tinggal prosesnya aja dan kadang hasilnya yang kita gak tahu." katanya. 

"Itu sebelumnya, kamu nyempein materi ajarnya via apa?" tanya gue.

"Ya via telpon, cuma kalau telponnya gak bisa dihubungi, yaudah gak bisa gimana-gimana lagi." jawabnya.
Sedih dengernya. Sedih ngebayangin pas udah mulai efektif masuk sekolah berapa banyak materi yang harus diulang, karena gak bisa dipungkiri terutama untuk anak dengan hambatan kognitif pengulangan sangat diperlukan. Libur dua minggu aja udah cukup jadi alasan untuk mengulang pelajaran apalagi sebulan lebih 😭

Jujur untuk kami, pembelajaran ini tidak efektif bagi sebagian besar siswa. Dan gue juga baca artikel survei tentang anak yang ditanya  apakah dia senang belajar di rumah, dan kalian tau jawabannya? Hampir 80% dari 1700 mengatakan tidak merasa senang  belajar di rumah, ini artikelnya, https://www.indozone.id/news/qEsRgg/hampir-80-dari-1700-siswa-mengaku-tidak-merasa-senang-belajar-di-rumah/read-all

Angkanya lumayan besar banget, kan. Awalnya gue merasa mungkin aja ini karena keterbatasan kami para guru dalam memberikan metode pengajaran tapi ternyata lebih jauh dari itu masih banyak faktor yang membuat kegiatan belajar online atau belajar di rumah ini kurang efektif. Menjadi pembelajaran tentunya untuk kami dan para orang tua ke depannya.

Mungkin gak, sih, salah satu solusinya kita perlu mengadakan seminar atau pelatihan tentang pembelajaran online ini? Ya maksudnya bukan ke para guru doang tetapi ke para wali murid, misalnya pengenalan ponsel pintar, cara penggunaan aplikasi yang dapat digunakan untuk menunjang pembelajaran, karena beberapa temuan di lapangan, wali murid seringkali merasa kurang paham dengan penggunaan perangkat perangkat teknologi yang saat ini banyak digunakan.

Kemarin pas awal awal  meeting via zoom ada beberapa orang tua yang suara sama videonya gak muncul karena belum paham cara mengaktifkan fitur tersebut, wajar, sih. Kita emang belum semuanya siap untuk melakukan pembelajaran berbasis teknologi kayak gini. Semoga ke depannya akan lebih baik, deh. Aamiin.

Bukan hanya soal pendidikan dan teknologi yang digunakan dalam proses belajar mengajar saja, Covid-19 ini juga berdampak pada hubungan sosial masyarakat.
Ngerasa nggak, sih, kalau sekarang banyak orang-orang yang menjadi lebih sensitif  dan lebih gampang berprasangka dari sebelumnya?

Kayak contoh sederhananya, belum lama ini ada tetangga gue yang sakit jantung dan dijemput oleh ambulance karena gak memungkinkan untuk dibawa secara pribadi. Belum ada satu jam ambulance itu berlalu udah rame isu si tetangga tadi kena Corona. Padahal belum ada konfirmasi dari pihak keluarga.
Terus udah kesebar aja kalau dia positif Corona. Banyak warga yang mendadak jadi tenaga medis yang memberi penjelasan ngawur terkait virus ini, jadi jurnalis broadcast whatsApp dadakan, menyebar data pribadi seseorang, padahal belum jelas sama sekali, ya kalau jelas juga sama sekali gak dibenarkan. Akhirnya desas desus tersebut terdengar pihak keluarga. Pusing gak lo ngebayangin jadi keluarganya, udah lagi diuji sama anggota keluarga yang sakit ditambah lagi omongan tetangga yang ngawur, hadeuh.

Kondisi sekarang emang memaksa kita untuk jangan sampe terlihat sakit sedikitpun, ya? Sakit sedikit, berobat ke puskesmas depan gang aja udah dah dicap Corona sama orang sekampung. HADEUH.

Mending deh ya kalau udah waspada akan penyebaran virus ini jadi pada lebih sadar akan kebersihan dan melaksanakan anjuran-anjuran untuk diam di rumah, ini mah apaan, mau secepat apapun si virus ini menyebar tetep aja dah kayak kagak pengaruh, tetep akan ada ibu-ibu yang nyemilin kuaci sambil nongkrong di bawah pohon jambu depan rumah Haidar, tetep ada anak-anak yang main raket sore-sore di depan rumah gue, di lingkungan rumah gue rame-rame juga.
Pas beberapa hari yang lalu gue terpaksa keluar untuk ke ATM dan supermarket tetep aja gue liat orang lalu lalang naik motor bonceng tiga kaga pake masker, terus kayak sadar akan suatu hal, ini gue sendiri yang lebay gak keluar rumah kalau gak mendesak apa gimana, sih? kok kayak semua orang biasa aja, terlihat seperti nggak ada apa-apa gitu 😕
Nahkan sekarang gua yang berprasangka! Gara-gara Corona emang ini! Hahaha


Gak selesai sama hal itu aja.

Tau dong pasti anjuran untuk beribadah di rumah selama pandemi? Nah.. anjuran ini menimbulkan banyak kontra di kalangan masyarakat. Terutama saat bulan ramadan kali ini. Emang sedih sebenernya karena ramadan tahun ini berbeda dari sebelumnya, nggak bisa solat terawih bersama-sama di masjid, gak bisa buka bersama dengan teman-teman, pasti kangen juga ngabuburit cari jajanan sebelum buka, kan? Iya sama. Bukan kita aja, banyak juga yang pasti yang merindukan suasana ramadan seperti tahun-tahun sebelumnya, tapi gapapa.. barangkali tahun ini Tuhan mau kita lebih dekat dengan-Nya. Secara kan ramadan sebelumnya kita disibukan dengan hal-hal duniawi, sibuk ngatur jadwal bukber di mana dan sama siapa, jarang di rumah, kadang malah telat telat solat karena acara bukber, gak jarang juga tahun-tahun sebelumnya kita masih di jalan saat magrib, iya karena kejebak macet setelah pulang kerja/kuliah, jangankan mau banyakin tadarusan yang ada sampe rumah udah kecapean duluan, sekalinya tadarusan seadanya. Tega juga ya kita, padahal yang butuh asupan bukan raga kita doang, tapi jiwa kita juga, sayangnya kita terlalu angkuh buat ngasih makan rohani kita. Ini gue lagi ngomong sama diri gue sendiri kok, buat diri gue sendiri.

Tapi sekarang Tuhan mau ngasih jeda untuk segala hal duniawi yang selama ini menyita waktu kita dengan-Nya. Saat ini Tuhan mau kita lebih dekat dengan-Nya, menjalankan ramadan dengan penuh kehadiran jiwa kita. Entah kenapa meski seperti ada yang hilang tapi satu sisi gue merasa lebih tenang karena gak disibukan dengan acara buka bersama, ngerasa gak sih, buat yang tinggal sama keluarga juga jadi lebih tenang karena punya banyak kesempatan ngabisin waktu sama keluarga, yang lagi tinggal sendiri juga Allhamdulillahnya sekarang punya lebih banyak waktu buat ibadah, ya. Selain itu juga, uang yang tahun-tahun sebelumnya digunakan sebagai anggaran buka bersama bisa kita alihkan untuk membantu saudara atau teman-teman yang lebih membutuhkan, karena pandemi ini banyak teman-teman dan saudara kita yang diuji dengan urusan rezeki, banyak juga yang diuji dengan cara kehilangan pekerjaan. Gue sendiri gak paham sama apa yang mereka rasain karena pasti berat banget, ya. Tapi gue yakin ujian yang hebat untuk orang orang hebat kayak mereka. Kalau belum bisa membantu lewat rezeki ayo sama-sama kita bantu lewat doa karena sampe saat ini gue percaya, doa adalah kunci dari segala ikhtiar yang telah kita lakukan.


Karena diberikannya himbauan untuk beribadah di rumah juga mengakibatkan gesrekan antar masyarakat, mungkin temen-temen udah nonton atau membaca artikel tentang rumah warga yang dirusak massa karena melaporkan masih adanya kegiatan terawih di masjid di lingkungan rumahnya, gemes banget gak sih ngeliatnya, awalnya gue nonton videonya yang gua liat bersliweran di media sosial baru baru ini. Kalo ada yang belom nonton, ini videonya https://youtu.be/tf4KVp1Ot6s
Dan ini salah satu artikelnya bisa dibaca di sini https://megapolitan.okezone.com/read/2020/04/26/338/2205220/rumah-warga-dirusak-massa-gegara-lapor-anies-ada-masjid-gelar-tarawih

Ya gimana ya..

Ini sama aja sebenernya kayak ada mahasiswa yang ngelaporin temennya  ke dosen karena adanya kecurangan di sebuah ujian. Salah? Ya nggak juga, naluri manusia jika melihat sesuatu yang menyimpang emang selalu ingin meluruskan meski kadang suka kalah sama rasa takut akan ketidak amanan dirinya jika ia berusaha memperbaiki itu. Tidak ada yang salah, bagi gue itu hanya perihal pilihan. Menyuarakan atau diam.

Ya emang sih urusan ibadah dan dosa emang urusan masing-masing, dan risiko masing masing. Tapi yang jadi masalah adalah dengan kenekatan kita, bisa jadi akan berdampak kezoliman terhadap orang lain, ya minimal kita mencoba lihat secara kemanusiaan aja kali, ya? Tenaga medis udah banyak yang kewalahan nanganin ini, mau sampai kapan kita mengedepankan ego pribadi? Mereka (tenaga medis) juga udah banyak berkorban untuk kita, masa iya kita juga gak mau mengorbankan sedikit ego kita demi kebaikan bersama.

Mungkin si pelapor niatnya baik, karena Jakarta menjadi lokasi dengan angka penyebaran Covid-19 yang sangat tinggi jadi dia mulai khawatir karena masih banyak warga yang nekat untuk beribadah di masjid jadinya dia menyuarakan kerisauannya akan hal tersebut, berharap agar dapat tindak lanjut yang lebih baik tapi sayangnya kadang niat baik gak selamanya berdampak baik juga.

Karena ya tadi,
Gak semua masyarakat punya pola pemikiran yang sama, gak semuanya pinya kerisauan yang sama juga, banyak faktor penentu perbedaan pola pikir, dimulai dari faktor keluarga, ekonomi, pendidikan sampai faktor lingkungan sosial yang mampu menentukan seperti apa pola pikir kita akan dibentuk.

Meski adanya perbedaan pola pikir, rasanya gue gak bisa membenarkan sama sekali sih kalau sampe berakibat kayak kasus yang ada di berita tersebut, merusak rumah warga karena merasa 'ketenangannya' terancam udah termasuk tindakan kriminal. Mungkin satu sisi massa ini takut juga, ya, takut kalau laporan tersebut menyebabkan mereka berurusan dengan aparat, karena bagi sebagian dari kita sangat menghindarkan berurusan dengan aparat, karena apa? Mungkin karena prosesnya yang bisa dikatakan tidak mudah.

Ohya, soal himbauan tak ibadah di masjid selama pandemi, bisa teman-teman saksikan sendiri di video Habib Husein Ja'far,
https://youtu.be/mz4rF617nMg dan video dari mba Nana dan Abi Quraish Shihab https://youtu.be/NMzfO5f-9CI

Semoga bisa dijadikan pelajaran untuk kita semua, ya.

Gitu deh pokoknya, banyak banget dampak yang ditimbulkan dari pandemi ini, bahkan jauh lebih luas dari apa yang udah gue sebutkan di atas, dampak-dampak yang udah gue sebutkan di atas bisa jadi hanya seperti fenomena gunung es. Jauh di bawahnya, lebih besar dari yang terlihat oleh mata.

Pusing juga emang ya, banyak banget hal yang harus mulai dipelajari dan diperbaiki teritama dari diri kita sendiri, salah satunya kedisiplinan dalam melaksanakan PSBB. Meski gak mudah tapi semoga kita bisa melewati ini semua ya, semoga kita dikuatkan berjuang hingga akhir.
Semoga adanya pandemi ini juga gak mengakibatkan tumpulnya rasa peduli kita terhadap sesama ya, kebalikannya, semoga pelajaran ini dapat semakin membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari sebelumnya, lebih peduli terhadap diri sendiri dan sesama. Emang ini kondisi yang ngeselin banget, serba salah dan menguras emosi, tapi cukup percaya aja akan selalu ada hal baik yang terselip dari setiap kejadian tidak menyenangkan yang Tuhan titipkan sebagai pelajaran untuk kita. Kuncinya ya cuma ikhtiar/berusaha dan tawakal/berserah diri.
Percaya bahwa sebesar apapun masalah yang sedang kita hadapi saat ini Tuhan kita lebih besar dari masalah tersebut.

Ayo jangan nyerah, bertahan sedikit lagi! Semangat!




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Singkat (Virtual Feeling #2)

Marigold

Deep talk