Apa yang kita lihat
Whoa, hae haaalo teman-teman.
Tadi gue abis bimbingan pertama, ceilah, akhirnya kayak mahasiswa beneran juga gue huhu
Jadi tadi gue kelar bimbingan maghrib-maghrib, niatnya mau ngajak temen sekalian aja bukber cuman ternyata oh ternyata dia sudah ada yang jemput. Akhirnya gue buka ajalah sama mamang mamang kopi depan fakultas.
Ketika gue sedang menanti dijemput (ama abang gojek lah ya udh jelas) gue melihat keramaian di timeline gue. Sebenernya udah dari kemarin, cuman TLnya nggak gue scroll dengan telaten dan penuh cinta (ok sip). Jadi gue gak engeh kalo ada keriweuhan yang sedang memuncak di timeline gue.
Hadeuh, dari segala keriweuhan dunia pertwitteran, membuat gue melihat bahwa fenomena media sosial ini semakin tahun semakin complicated.
Orang-orang makin kesini makin aja menjadikan perspektifnya sebagai kesimpulan buat seluruh permasalahan-permasalahan yang ada, bukan cuma di media sosial sih, cuman buat gue hal ini sering terjadi di media sosial.
Gue gak mau bilang si A atau si B salah, gada urusan juga, emangnya gue juri dangdut akademi. Lagipula gue juga gak tau masalah lengkap dan kenyataannya, kan? Apapun bisa buat diotak atik. Kadang apa yang kita liat beda sama kenyataan, meski kita merasa benar. Karena benar buat kita belum tentu benar buat orang lain, kan?
Yang pasti gue melihat bahwa beberapa atau malah banyak orang saat ini merasa lebih baik dari orang lain.
Menganggap bahwa orang lain levelnya berada di bawah dia. Bahkan bahayanya merasa bahwa dosa orang lain lebih banyak dari dosanya.
Iya gue lagi ngomong sama diri sendiri kok. Sumpadah.
Kadang ketika kita ribut-ribut dan membiarkan orang lain (yang gak berkepentingan) untuk menonton malah jadi lebih bahaya.
Bisa aja masalah yang harusnya kelar anatara kita dan pihak sebelah malah jadi runyem gara-gara ada pihak ketiga.
Bukannya ngademin malah ngomporin. Pantes mleduk dah.
Maka dari itu, beberapa tahun terakhir ini gue lebih seneng ngediemin orang yang lagi emosional. Ketika gue rasa dia udah out of control, disaat itulah gue harus diemin. Bukan karena apa-apa sih. Gue cuma males aja ngasih ruang ke orang lain (yang emang gada urusan) buat masuk dan ngerusuh. Karena yakinlah, meski gak semua orang begitu cuman pasti ada orang-orang yang mencari celah untuk membakar emosi orang lain.
Ketika gue rasa si pihak sebelah udah mulai tenang dan bisa diajak komunikasi dengan waras, barulah gue berupaya menyelesaikan. Hal tersebut berlaku juga ke diri gue. Kadang, kalo lagi kalut, atau ngerasa lagi nggak waras, gue biasa narik diri dulu dari lingkungan (yang buat kalut), tapi bukan untuk waktu yang lama, hanya satu dua hari, gue gak mau karena ketidawarasan gue dalam menangggapi masalah, yang ada malah membuka celah orang lain untuk menjadi sutradara dalam masalah gue.
Lah terus hubungannya apa orang-orang tubir di medsos dengan gambar kucing diatas?
Ya adalah!
Hubungannya gini, ketika ada banyak orang lain yang menyaksikan perdebatan atau pertengkaran lo, maka akan banyak point of view atau perspektif yang muncul. Kayak sebuah kejadian yang akan difoto bisa aja diambil dari angle yang berbeda-beda, yang kemudian dikemas dengan berbeda, padahal kejadian real-nya mah sama aja. Intinya bumbunya lah yang beda.
Kadang apa yang kita lihat di media sosial belom tentu kejadian nyatanya. Sama kayak kucing dalam gambar, ia beranggapan bahwa bayangan tersebut berasal dari tubuhnya padahal bisa saja bayangan tersebut berasal dari payung tersebut. Who's know?
Hanya masalah apa yang kita lihat.
Masalah dari mana kita melihatnya.
Bagaimana kita mengemasnya.
Semua manusia punya pilihan dalam melihat suatu permasalahan, gak ada yang benar ataupun salah dalam hal sudut pandang.
Cuman jangan lantas menjadikan satu kejadian (yang realitanya aja masih abu-abu) sebagai tolak ukur kita dalam memperlakukan orang lain.
Ada sesuatu yang belum kita lihat.
Ada sesuatu yang kita rasa kita sudah mengetahui namun nyatanya kita tidak tahu apa-apa.
Jangan hanya percaya pada perspektif atau sudut pandangmu.
Keluarlah, cari angle lain. Bahkan kalau bisa temukan angle lain, sampai angle-angle tersebut terkumpul dan membentuk suatu kesatuan yang utuh, meskipun gue tahu itu bukan hal yang mudah.
Satu lagi, jangan pernah mengangumi orang lain dengan cara menganggap bahwa ia manusia tanpa celah, karena tidak pernah ada manusia tanpa kekurangan, tidak pernah ada manusia yang tidak punya dosa dan sisi buruk. Kagumilah seseorang dengan paket komplit. Dengan mengagumi kelebihannya sebagai inspirasimu dan kekurangannya sebagai pelajaran untukmu.
Karena apa yang kita lihat bukan kesuluruhan, melainkan hanya sebagaian angle.
Komentar
Posting Komentar