Postingan

Luka itu bernama 'Ibu'

Bunga di atas tanah pemakaman bapak masih segar tercium harum, namun sudah ku lihat ibu menggandeng laki-laki lain, ku tebak usianya hanya berjarak sekitar 10 tahun diatasku. Laki-laki yang entah aku tidak tahu datang dari mana. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, kemeja hitam polos dengan lengan kemeja yang digulung hingga siku, dipadukan dengan celana bahan berwarna coklat susu yang tampak bersih, dan tak lupa sepatu casual  senada dengan warna celananya. Dibanding ke pemakaman tampilannya lebih seperti laki-laki mapan yang ingin berangkat kerja di gedung tinggi ibu kota. Aku pastikan, sebelum ia ke sini, ia sempat mampir ke pusat perbelanjaan, terlihat dari paper bag sebuah brand terkenal di tangan kirinya. Sialan. Dia pikir bapak akan kesal melihat gayanya? batinku. Aku menyibak separuh kerudungku ke belakang, melempar senyum mengejek pada sepasang kekasih yang sedang menjalani lakon kesedihan,  "Arya, mana?" tanyaku pada perempuan di hadapanku.  Ku lihat tidak ...

Tidak sampai besok

 "Belum dapat kabar, lagi?" tanya sosok laki-laki gagah yang kupanggil ayah, Mungkin ayah risau, sejak beberapa hari yang lalu aku senang sekali menatap layar gadgetku dengan gusar, tanganku membuka tutup aplikasi hijau, tempat kami biasa bertukar pesan, aku menanti pesan dari seseorang yang tidak kunjung datang. Sudah empat hari tepatnya. Aku menarik nafas dan menghembuskannya dengan sedikit kasar, "Belum, atau gak akan pernah ada kabar lagi, ya, yah?" kataku kecewa, ayah yang sejak tadi berada sedikit berjarak denganku, kini menggeser posisi duduknya lebih dekat denganku. Tangan lembut ayah membelai rambutku, tangan ayah tidak pernah berubah, masih tetap hangat. Ayah selalu mengatakan bahwa dari kecil aku adalah putri kesayangan ayah, kami begitu dekat sampai ayah mengetahui segala yang terjadi padaku. Termasuk kedekatanku dengan seseorang. Ayah tersenyum, tangannya tidak berhenti membelai rambutku, "Kalau bicara sebagai ayahmu, tentu ayah kecewa dengan sikap...

Singkat (Virtual Feeling #2)

Perasaan perasaan itu memang harus dibuat biasa saja. Pertemuan itu memang harus dianggap tanpa kesan. Pesan-pesan yang saling kita sampaikan memang harus dibuat singkat. Agar aku mengerti bahwa ini hanya sebatas aku dan kamu sebagai teman. Kadang, aku merasa cukup memperhatikan dari jauh, melihat seluruh bahagia yang kamu tampilkan dari laman sosial mediamu. Menyaksikan kamu yang begitu kecil namun mampu terlihat besar di mataku. Aku selalu penasaran, apa rasanya ya jadi impianmu? Ia selalu punya ruang dalam hatimu. Selalu menjadi tujuan pulangmu. Dan pada akhirnya begitulah kita, singkat terurai menjadi garis-garis takdir yang tak akan pernah bertemu. Tetaplah hidup. Barangkali, hal itu yang selalu ku tunggu setiap pagi.

Di akhir perang

 "Mau sampai kapan, mas?" Aku menarik napas panjang dengan penuh sesak. Di hadapanku ada laki-laki yang sudah 10 tahun menghabiskan waktu kami bersama. Laki-laki yang sejak 10 tahun lalu higga kini tidak pernah berani untuk mengambil langkah lebih dari ini. Laki-laki yang bahkan untuk dirinya saja ia tidak tahu harus bagaimana, dan sialnya aku tetap mencintainya. "Rin, kita udah pernah bahas ini, kan?" dia mengusap kasar wajahnya, menampilkan rasa kekecewaan karena lagi-lagi aku membahas obrolan yang selalu ia hindarkan. "Tapi kamu tidak pernah memberikan jawaban, mas." ucapku lirih. Dia diam, kali ini dengan jeda yang sangat lama, "Aku rasa kamu sudah cukup mengerti bahwa aku belum siap." nadanya merendah kali ini.  "10 tahun, mas? 10 tahun kamu juga tidak menemukan kata siap itu?"  Hening. Aku menatap keluar kaca mobil. Hujan deras dengan gemuruh petir yang semakin terdengar jelas di tengah keheningan kami. Harusnya hari ini kami berb...

Marigold

Seandainya waktu tidak berjalan menuju garis takdir saat ini aku tidak akan merasakan gemuruh yang semakin hari semakin berisik. Seandainya semua kenangan singkat tidak tertata rapih di kepala aku tidak perlu kelimpungan mencari cara berdiri dengan kakiku sendiri. Aku tidak perlu kebingungan mencoba banyak hal untuk memutus kebiasaan-kebiasaan mencari dan dicari kamu.  Sombong jika aku tidak mengakui bahwa mungkin di kepalaku sempat terbesit bahwa kamu adalah salah satu wujud jawaban dari doa yang aku panjatkan. Doa yang isinya diawali dengan kata semoga. Doa yang isinya teriakan bahwa aku ingin disayangi dengan begitu dalam. Setelah berkali kali patah dan tumbuh yang aku rasakan kamu seolah hadir membawa seluruhnya untuk ditawarkan.  Hadirmu menjajikanku alasan untuk kembali percaya, setelah dia cukup jauh mendorongku dari rasa bahagia. Bagiku kamu tidak boleh berakhir sia-sia. Tidak ada luka yang pantas kamu tangisi. Tidak ada kepergian yang pantas kamu lalui. Tetapi saat ak...

Virtual feeling

Pagi ini aku masih terbangun dengan mimpi yang sama. Sejak kemarin, sosok yang bahkan secara nyata saja belum pernah aku jumpai kini hadir lagi di mimpi malamku. "Dua malam berturut-turut, Nan." Ucapku pada sahabatku, Nanda. Aku mengenal sosok laki-laki itu dari Nanda, ia adalah teman sekolah Nanda. Sepertinya sudah sekitar 10 tahun yang lalu Nanda mengenalkannya kepadaku. Tepat saat kami memakai seragam putih abu abu. Saat di mana laki-laki itu bertanya pada sahabatku, Nanda, tentangku. Laki-laki itu satu sekolah dengan Nanda, sahabatku. Aku menyambutnya dengan baik kala itu, bagiku, berteman dan mengenal teman baru adalah hal yang menyenangkan, Nanda juga bilang dia baik, tidak ada alasan aku tidak menyambutnya dengan hangat, bukan? Dan benar saja, banyak obrolan hangat yang kita saling lemparkan sebagai seorang teman. Aku juga merasa dia sosok yang bisa aku ceritakan hal-hal apa saja yang terjadi dalam hidupku. Komunikasi kami terus berjalan baik sebagai teman, meski belum...

Malam ini

Ada satu hal yang tertinggal di balik keberanianku untuk memulai. Seandainya hal-hal yang terjadi di waktu sebelum ini tidak begitu membekas di kepala dan ingatan, aku tidak perlu memulai cerita yang tidak seharusnya. Segala kelancangan ini dimulai dari obrolan kita yang mengikat, mengikat rasa ingin tahu-mu dan mengikat aku dalam percakapan sederhana yang selalu berhasil menjadi tempat aku bernafas, tempat aku merasa begitu pantas. Tempat aku berbahagia dengan sebenar-benarnya.  Kamu mendengar banyak cerita pahit dan manis yang aku lalui, kamu mendengarnya hingga saat ini, meski bukan dalam wujud nyata diri kamu, aku selalu membaginya padamu, meski kamu tidak tahu cara aku bercerita padamu seperti apa. Beruntungnya menceritakan secara tidak langsung padamu membuatku lupa bahwa aku pernah terluka. Pertemuan pertama yang aku kira akan menjadi akhir dari perasaanku ternyata membuahkan ketertarikan baru untukku. Dasar bodoh . Padahal kamu tetap saja berdiri di tempatmu, tempat biasa k...