Marigold
Seandainya waktu tidak berjalan menuju garis takdir saat ini aku tidak akan merasakan gemuruh yang semakin hari semakin berisik. Seandainya semua kenangan singkat tidak tertata rapih di kepala aku tidak perlu kelimpungan mencari cara berdiri dengan kakiku sendiri. Aku tidak perlu kebingungan mencoba banyak hal untuk memutus kebiasaan-kebiasaan mencari dan dicari kamu.
Sombong jika aku tidak mengakui bahwa mungkin di kepalaku sempat terbesit bahwa kamu adalah salah satu wujud jawaban dari doa yang aku panjatkan. Doa yang isinya diawali dengan kata semoga. Doa yang isinya teriakan bahwa aku ingin disayangi dengan begitu dalam. Setelah berkali kali patah dan tumbuh yang aku rasakan kamu seolah hadir membawa seluruhnya untuk ditawarkan.
Hadirmu menjajikanku alasan untuk kembali percaya, setelah dia cukup jauh mendorongku dari rasa bahagia. Bagiku kamu tidak boleh berakhir sia-sia. Tidak ada luka yang pantas kamu tangisi. Tidak ada kepergian yang pantas kamu lalui. Tetapi saat aku mencoba melewati garis itu, nyaliku menciut, keberanianku seolah-olah menguap bersamaan dengan hembusan angin di sore yang dingin. Aku benci diriku yang pengecut. Aku lebih benci diriku yang ternyata belum berani mencintaimu. Jika aku diizinkan memilih pada siapa perasaan ini harus aku labuhkan, jawabannya adalah kamu. Manusia yang paling baik dalam menyangiku.
Seperti ada sesuatu yang hilang dalam diriku. Ada bagian dari diriku yang kosong lalu kamu lengkapi, kamu isi sampai aku tidak lagi merasa kekurangan. Begitu baik sampai aku sadar bahwa satu-satunya orang yang harus mengisi kekosongan itu adalah diriku sendiri. Bukan kamu.
Punggungku berbalik arah menatapmu, dengan langkah gontai kakiku berjalan menjauh darimu, untuk menjemput diriku yang hilang, diriku yang entah saat ini sedang di mana, bagian dariku yang bersembunyi karena malu padamu, kenyataan bahwa manusia lain bisa begitu mencintaku lebih dari diriku sendiri.
Aku bertaruh dengan seribu keyakinan bahwa saat ini, saat di mana kamu memejamkan mata, wajah dan namaku yang selalu telihat. Maaf karena aku memilih untuk menjadi pengecut yang tidak berani memulai denganmu. Maaf kalau saat ini aku memilih merawat lukaku sendiri. Maaf jika kamu harus melihat harapan yang dulu memenuhi isi kepalamu ternyata harus dikesampingkan. Maaf jika kamu melihat semua yang aku berikan terlihat seperti tanpa makna, terlihat aku seolah-olah hanya bermain-main di taman, terlihat seperti aku mudah untuk tidak menganggap ini semua pernah terjadi. Maaf jika kamu harus melihat caraku mendorongmu pergi begitu menyakitkan, sampai kamu tidak lagi melihat aku layak. Mungkin kamu saat ini begitu membenciku. Tatapan yang selalu tidak aku inginkan ada di kamu kini menjadi tatapan yang paling sering aku temukan saat kamu berada di dekatku. Jangankan melihatmu, jalan melewatinya aku sudah tidak berani.
Ke depannya, selamat kamu akan melihat pementasan sebuah drama, di mana aku terlihat seperti tidak lagi mengingatmu, tidak lagi terganggu oleh jarak di antara kita,
Meski dalam kepalaku selalu muncul pertanyaan-pertanyaan,
Bisakah kamu tetap di sini meski keadaan mendorongmu pergi menjauh?
Bisakah kita tetap berdua meski tidak bersama?
Bolehkah kamu tetap mencintaiku dengan utuh?
Jangan. Jangan mencintai perempuan lain sama seperti kamu pernah mencintaiku. Karena sampai kapanpun aku tidak pernah siap.
Layaknya marigold yang memiliki makna kehangatan yang juga bisa dimaknai sebagai jam kecil yang mengartikan waktu yang terbatas.
Komentar
Posting Komentar