Di akhir perang

 "Mau sampai kapan, mas?" Aku menarik napas panjang dengan penuh sesak. Di hadapanku ada laki-laki yang sudah 10 tahun menghabiskan waktu kami bersama. Laki-laki yang sejak 10 tahun lalu higga kini tidak pernah berani untuk mengambil langkah lebih dari ini. Laki-laki yang bahkan untuk dirinya saja ia tidak tahu harus bagaimana, dan sialnya aku tetap mencintainya.

"Rin, kita udah pernah bahas ini, kan?" dia mengusap kasar wajahnya, menampilkan rasa kekecewaan karena lagi-lagi aku membahas obrolan yang selalu ia hindarkan.

"Tapi kamu tidak pernah memberikan jawaban, mas." ucapku lirih.

Dia diam, kali ini dengan jeda yang sangat lama, "Aku rasa kamu sudah cukup mengerti bahwa aku belum siap." nadanya merendah kali ini. 

"10 tahun, mas? 10 tahun kamu juga tidak menemukan kata siap itu?" 

Hening.

Aku menatap keluar kaca mobil. Hujan deras dengan gemuruh petir yang semakin terdengar jelas di tengah keheningan kami. Harusnya hari ini kami berbahagia, merayakan peringatan 10 tahun kami bersama, namun semuanya gagal. Hujan deras turun saat kami tiba di lokasi. Aku dan mas Lutfi berencana untuk piknik hari ini, kegiatan yang selalu mas Lutfi sukai, karena ia senang merasa tenang. Iya, mas Lutfi sangat menyukai ketenangan hingga dia selalu menghindarkan situasi yang akan membuatnya menjauh dari kata tenang, termasuk saat ditanyakan perihal komitmen lebih lanjut bersamaku. 

''Átau sebenarnya kamu tidak pernah yakin denganku?" ucapku memecah keheningan panjang kami.

"Gak gitu, Rin. Kamu kan tahu aku cuma mau nikah ya kalau sama kamu." ucapnya, kalimat yang sama yang selalu ia katakan padaku, saat aku mendengarnya 5 tahun lalu mungkin kalimat itu berhasil menenangkanku, tapi tidak saat ini. Kalimat yang terdengar seperti omong kosong.

''Aku masih takut, Rin." Kalimat yang sudah aku tebak akan keluar lagi dari mulutnya.

Aku tersenyum getir. "Sudah cukup jelas..." aku menghentikan kalimatku, menarik napas dalam, "Aku memang bukan orangnya." sambungku. 

Ia menggeleng.

"Kalau memang aku yang kamu inginkan, kamu akan berusaha melawan ketakutanmu, kamu akan memberanikan diri, meyakinkan ragumu, bukan hanya duduk diam menanti keajaiban, seolah-olah keyakinan luar biasa akan datang begitu saja tanpa kamu jemput.''

Diambilnya botol air mineral yang sedari tadi berdiri di atas dashboard. Dia membuka tutup botol itu dengan rasa marah. Matanya sudah berbeda. Aku sudan merasa ia marah karena lagi-lagi aku mengganggu ketenangannya.

"Terus maumu apa?" tanyanya setelah menenggak setengah air dalam botol mineral tersebut.

Aku terkekeh, menyadari kebodohanku selama ini, mencintai laki-laki yang bahkan tidak menghargai keberadaanku.

"Boleh aku tanya sekali lagi, apa yang kamu takutkan dari pernikahan?"

Dia tidak langsung menjawab. Wajahnya berpaling ke luar kaca jendela, jarinya menekan tombol membuka kaca jendela. 

Seolah pertanyaanku mencekik lehernya. Menghempas seluruh oksigen dalam tubuhnya, ia bak kehabisan nafas. Ia mengirup udara luar tanpa menghiraukan cipratan air hujan yang mengenai wajahnya. 

"Aku takut tidak tenang jika mengambil langkah seberani ini. Aku rasa aku belum mampu. Aku takut hidupku tidak bebas jika memutuskan untuk menikah. Aku tidak mau bagaikan dipenjara seumur hidup."

Kalimat kali ini berbeda. Kalimat yang akhirnya aku dengar dari mulutnya. Satu kalimat yang membuatku mengalami rasa asing. Bukan tentang ketakutan karena kegagalan orang tuanya, melainkan ketakutan karena kebebasan dan ketenangan yang ia agung-agungkan akan hilang, dalam pikirannya.

"Kamu yang selama ini memenjaraku dengan perasaan tidak pasti." Aku memberanikan diri mengatakan apa yang selama ini tertahan di dalam dadaku.

Aku menarik nafas panjang, "Kamu tahu? Berapa kali aku harus buat alasan ke ibu dan bapak kalau aku belum siap menikah, hanya untuk menutupi ketidak siapanmu?"

"Kamu gak harus melakukan itu." jawabnya tanpa perasaan bersalah.

Aku tersenyum mendengarnya.

Getir.

"Aku capek mengemis sama kamu. Kalau terus begini, kamu membuatku merasa bahwa aku tidak pernah diinginkan olehmu." Kali ini aku mengucapkannya dengan lebih tenang.

Di detik terakhir aku menyadari bahwa seharusnya jauh sudah sebelum hari ini, tidak perlu ada lagi obrolan tentang ke mana hubungan ini akan dibawa. Aku terlalu berharap hari demi hari, bulan demi bulan bahkan tahun demi tahun akan mendewasakan dia. Aku berpikir bahwa penantian yang aku lakukan selama ini tidak akan berakhir sia-sia. 

Meski aku yakin kalimat yang akan keluarkan selanjutnya pasti akan memberatkan, namun aku tetap memilih mendengarnya.

"Aku tanya untuk yang terakhir kali, kamu yakin belum siap atau meminta aku untuk menunggu kembali? Kalau nyatanya kamu memang belum siap, aku akan menyudahi semua ini. Aku akan berhenti berlari sendirian. Aku akan pergi dari hidup kamu. Tenang, kamu akan sepenuhnya merasa bebas setelah ini, tapi aku mohon kita gak akan saling ganggu lagi, sebutuh apapun kamu, tolong jangan cari atau temui aku lagi." Dalam setiap kata demi kata yang aku ucapkan dengan nada yang bergetar, aku menatap matanya, menyadari bahwa esok aku tidak akan lagi melihat mata yang sama, mata yang selalu aku tunggu untuk menatapku.

"Aku belum siap, Rin." Ucapnya singkat dan sangat jelas. 

Begitulah cara dunia memainkan penantianku selama 10 tahun. Segala ketulusanku dibayar tuntas dengan rasa kecewa. Tanpa membuka kesempatan dan ruang untuk mendiskusikan ia memilih mengakhiri segalanya. Kalimat singkat yang mampu menghancurkan hidupku selama berkepanjangan. Aku menatapnya getir. Tatapan nanar yang kutemui di matanya merupakan bukti bahwa ia juga menyayangkan 10 tahun kita berakhir namun berengseknya ia seperti memberikan tatapan separuh lega. Seolah menampilkan kebebasan yang selama ini ia harapkan akan terwujud sepenuhnya. Selama ini ia bagaikan menunggu jalan keluar untuk dikelurkan dari pengapnya kata pernikahan. Aku membuka pintu mobil ini dengan perlahan. 

"Aku pamit." Kata terakhirku menutup sore hari yang begitu panjang.

_____


Satu tahun berselang sejak sore yang kami lalui begitu penuh sesak, ia datang kembali. 

"Mas, udah nggak ada lagi yang tersisa dari perasaanku, aku udah gak bisa balik ke kamu." Ucapku tegas.

Separuh lega karena setahun yang lalu aku mengambil langkah untuk menyelamatkan diri dari situasi yang terus mempermainkanku. 

"Secepet itu, Rin? aku mohon maafkan aku Rin, kali ini aku sudah siap menikah. Ayo kita menikah Rin." Kalimat yang sengaja diucapkan untuk membujukku, kalimat yang setahun lalu ingin sekali aku dengar. Aku berhasil mendengarnya kali ini.

"Enggak, mas. Sejak setahun lalu aku pamit, aku sudah membuang jauh harapan untuk bersamamu, bahkan kamu bukan lagi doaku. Aku sudah cukup senang karena akhirnya, diakhir perjalanan kita aku bisa memberikan hal yang sangat ingin kamu dapatkan kala itu, kebebasan. Tolong kita tepati janji kita berdua untuk tidak lagi saling ganggu." Raut mukanya berubah. 

Penyesalan, rasa bersalah dan kehilangan yang begitu besar sangat tergambar jelas dari matanya. Kesiapan yang mendadak muncul darinya kini tidak lagi berarti. Tidak lagi ada ruang dalam memberinya kesempatan untuk kembali. Rasa bebas yang dia idam-idamkan sejak lama kini membuatnya sesak. Mencekiknya hingga ia terdiam tanpa kata-kata. 

Mungkin inilah balasan yang setimpal untuk hati yang kamu biarkan mengemis kepastian yang tidak kunjung datang. Mungkin inilah balasan yang setimpal untuk kamu yang membiarkan perasaanku mati dalam kesia-siaan. Mungkin inilah balasan yang setimpal untuk kesempatan yang selalu kamu permainkan. 

Kini aku tidak ingin lagi menjadi manusia yang paling jahat dengan diriku sendiri. Beribu kesempatan yang aku berikan padamu demi menyelamatkan hubungan kita justru menjebloskanku dalam celaka, menyakitkan, seolah perlahan membunuhku. 

Aku memang kehilanganmu namun aku menemukan diriku.

Untukmu, selamat menikmati rasa sesal. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Singkat (Virtual Feeling #2)

Marigold

Deep talk