Kalau saja

Kadang gue suka mikir, kalau saja gue bukan gue yang sekarang apa segalanya bakalan sama seperti saat ini?


Jadi, sepulang dari Pare gua dioleh-olehi pertanyaan, pertanyaan yang selalu gue bawa-bawa dari dari kota ke kota yang gue singgahi sebelum balik ke Bekasi. Pertanyaan tentang, kalau saja gue bukan gue yang sekarang apa segalanya akan sama?

Di Pare, gue pulang dengan banyak cerita.
Mulai dari kisah persahabatan hingga kisah kisah ngawur ala anak remaja hingga dewasa. Awalnya semua terasa menyenangkan, semua hanya berkisah tentang pertemanan, sampai pada suatu hari ada seseorang yang menyatakan perasaannya pada gue, lebih dari itu, dia meminta ijin untuk mengenal gue lebih jauh ke arah yang lebih serius. Ho'oh sampe ngomongin soal pernikahan dong. Gue kaget, bukan karena ada yang bilang ingin serius tapi gue lebih ke "Emang ada ya orang yang bisa yakin dengan orang lain secepet itu?" soalnya gue sendiri tipe yang gak bisa yakin dengan mudah gitu, makanya gue gak percaya kalau ada yang ngomong dia bisa yakin sama gue dengan mudahnya. Ya mungkin aja sih untuk tertarik tapi untuk yakin bagi gue perlu pertimbangan matang-matang, kan?

Gue udah berusaha ngomong kalau dia hanya terbawa suasana aja, tapi dia bilang enggak. Akhirnya gue tanya dong kenapa bisa secepet itu? Lalu dia jawab karena di matanya gue baik, dia melihat gue beda dari perempuan biasanya dan dia kagum saat dia tahu gue bergelut di bidang anak berkebutuhan khusus. Selang beberapa hari dari pernyataan dia ada lagi laki laki yang umurnya di bawah gue menyatakan ketertarikannya sama gue, dia bilang suka ke gue terus gue tanya suka karena apa? lagi-lagi jawabannya sama dengan yang sebelumnya. 

Beberapa hari berlalu, gue dan kedua orang tersebut masih berteman baik, sampai tiba waktunya gue untuk pulang dari Pare. 
Dari Pare gue sempat menyinggahi kota Solo dan Yogyakarta, tujuannya hanya liburan. Ketika di Solo sebuah notif instagram masuk dari salah satu laki-laki yang berada di Pare. Kali ini gue tidak kenal dekat, sebelumnya kami hanya pernah mengobrol singkat satu kali dan saat itu gue tahu usianya lagi-lagi di bawah gue. Karena kenal gue berusaha untuk menanggapinya dengan baik. Sampai pada titik dia bilang tertarik dan kagum dengan apa yang gue jalani.

Ya gapapa sih, tapi gue jadi mikir. Kalau saja gue bukan orang yang mereka kenal saat ini apa mereka masih bisa tretarik dengan pribadi gue?
Kalau saja gue tidak bergelut di bidang anak-anak luar biasa apakah gue akan tetap dikenal karena karakter yang lain dalam diri gue?
Kalau saja gue berhenti untuk ada di dalam dunia yang gue sedang jalani apa mereka akan tetap meletakkan perhatiannya pada gue?

Sepersekian detik gue jadi kehilangan kepercayaan akan diri gue sendiri.

Gue merasa bahwa mereka kagum hanya dengan apa yang sedang gue lakuin bukan karena diri gue sendiri. Aneh ya gue? iya emang. Mungkin karena terlalu sering kali ya mendengar ada seseorang yang suka dengan kita tapi alasannya sama semua, karena mereka tertarik dengan apa yang gue jalani. Terus gue main perandaian, deh. Kalau saja gue berhenti dari dunia anak-anak luar biasa, apakah mereka akan tetap pada rasa yang sama dengan gue?
Lagi dan lagi, pertanyaan itu terus memenuhi ruang di kepala gue.

Mereka cuma kagum dengan apa yang gue jalani, tidak benar-benar karena diri gue sendiri.
Sekali, rasanya ingin mendengar seseorang mengagumi kita karena apa adanya diri kita, tanpa embel-embel profesi ataupun segala yang sedang kita jalani. Agar jika gue berhenti, mereka akan tetap pada rasa yang sama.

Gak, sih. Bukannya gak mau atau gak suka kalau ada yang suka karena profesi atau sesuatu yang sedang kita lakuin, hanya saja gue ingin dia menganggapnya sebagai bonus gitu, bukan alasan utama perasaan dia terhadap gue, gitu.

Lalu, kalau saja gue tidak sebaik apa yang kalian kira, tidak semengagumkan ekspetasi yang kalian tanamkan terhadap gue, apakah kalian akan pergi?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Singkat (Virtual Feeling #2)

Marigold

Deep talk