Postingan

Di akhir perang

 "Mau sampai kapan, mas?" Aku menarik napas panjang dengan penuh sesak. Di hadapanku ada laki-laki yang sudah 10 tahun menghabiskan waktu kami bersama. Laki-laki yang sejak 10 tahun lalu higga kini tidak pernah berani untuk mengambil langkah lebih dari ini. Laki-laki yang bahkan untuk dirinya saja ia tidak tahu harus bagaimana, dan sialnya aku tetap mencintainya. "Rin, kita udah pernah bahas ini, kan?" dia mengusap kasar wajahnya, menampilkan rasa kekecewaan karena lagi-lagi aku membahas obrolan yang selalu ia hindarkan. "Tapi kamu tidak pernah memberikan jawaban, mas." ucapku lirih. Dia diam, kali ini dengan jeda yang sangat lama, "Aku rasa kamu sudah cukup mengerti bahwa aku belum siap." nadanya merendah kali ini.  "10 tahun, mas? 10 tahun kamu juga tidak menemukan kata siap itu?"  Hening. Aku menatap keluar kaca mobil. Hujan deras dengan gemuruh petir yang semakin terdengar jelas di tengah keheningan kami. Harusnya hari ini kami berb

Marigold

Seandainya waktu tidak berjalan menuju garis takdir saat ini aku tidak akan merasakan gemuruh yang semakin hari semakin berisik. Seandainya semua kenangan singkat tidak tertata rapih di kepala aku tidak perlu kelimpungan mencari cara berdiri dengan kakiku sendiri. Aku tidak perlu kebingungan mencoba banyak hal untuk memutus kebiasaan-kebiasaan mencari dan dicari kamu.  Sombong jika aku tidak mengakui bahwa mungkin di kepalaku sempat terbesit bahwa kamu adalah salah satu wujud jawaban dari doa yang aku panjatkan. Doa yang isinya diawali dengan kata semoga. Doa yang isinya teriakan bahwa aku ingin disayangi dengan begitu dalam. Setelah berkali kali patah dan tumbuh yang aku rasakan kamu seolah hadir membawa seluruhnya untuk ditawarkan.  Hadirmu menjajikanku alasan untuk kembali percaya, setelah dia cukup jauh mendorongku dari rasa bahagia. Bagiku kamu tidak boleh berakhir sia-sia. Tidak ada luka yang pantas kamu tangisi. Tidak ada kepergian yang pantas kamu lalui. Tetapi saat aku mencoba

Virtual feeling

Pagi ini aku masih terbangun dengan mimpi yang sama. Sejak kemarin, sosok yang bahkan secara nyata saja belum pernah aku jumpai kini hadir lagi di mimpi malamku. "Dua malam berturut-turut, Nan." Ucapku pada sahabatku, Nanda. Aku mengenal sosok laki-laki itu dari Nanda, ia adalah teman sekolah Nanda. Sepertinya sudah sekitar 10 tahun yang lalu Nanda mengenalkannya kepadaku. Tepat saat kami memakai seragam putih abu abu. Saat di mana laki-laki itu bertanya pada sahabatku, Nanda, tentangku. Laki-laki itu satu sekolah dengan Nanda, sahabatku. Aku menyambutnya dengan baik kala itu, bagiku, berteman dan mengenal teman baru adalah hal yang menyenangkan, Nanda juga bilang dia baik, tidak ada alasan aku tidak menyambutnya dengan hangat, bukan? Dan benar saja, banyak obrolan hangat yang kita saling lemparkan sebagai seorang teman. Aku juga merasa dia sosok yang bisa aku ceritakan hal-hal apa saja yang terjadi dalam hidupku. Komunikasi kami terus berjalan baik sebagai teman, meski belum

Malam ini

Ada satu hal yang tertinggal di balik keberanianku untuk memulai. Seandainya hal-hal yang terjadi di waktu sebelum ini tidak begitu membekas di kepala dan ingatan, aku tidak perlu memulai cerita yang tidak seharusnya. Segala kelancangan ini dimulai dari obrolan kita yang mengikat, mengikat rasa ingin tahu-mu dan mengikat aku dalam percakapan sederhana yang selalu berhasil menjadi tempat aku bernafas, tempat aku merasa begitu pantas. Tempat aku berbahagia dengan sebenar-benarnya.  Kamu mendengar banyak cerita pahit dan manis yang aku lalui, kamu mendengarnya hingga saat ini, meski bukan dalam wujud nyata diri kamu, aku selalu membaginya padamu, meski kamu tidak tahu cara aku bercerita padamu seperti apa. Beruntungnya menceritakan secara tidak langsung padamu membuatku lupa bahwa aku pernah terluka. Pertemuan pertama yang aku kira akan menjadi akhir dari perasaanku ternyata membuahkan ketertarikan baru untukku. Dasar bodoh . Padahal kamu tetap saja berdiri di tempatmu, tempat biasa kamu

Tandas

"Kabar baik sekaligus buruknya gue mau menikah bulan depan," Adit, lelaki dengan mata paling menenangkan mengatakan satu kalimat yang dia ucapkan dengan penuh keraguan, suaranya melemah di setiap kata. "Maksudnya? kenapa kabar baik sekaligus buruk?" tanyaku dengan segala kebingungan yang Adit ciptakan hari ini. Sial. Kenapa dia diam aja . Batinku.  "Dit," panggilku sekali lagi memaksa Adit untuk memberikan jawaban. Adit mematikan puntung rokok yang dari tadi hanya bertengger di antara jari telunjuk dan jari tengahnya, "Res, bisa gak lo diem dulu, kepala gue sakit." Ucapnya ketus dan tegas dengan penekanan di akhir kalimatnya. Sepuluh menit berlalu aku tidak juga mendapat penjelasan dari kalimat Adit. Aku menghela nafas panjang, "Dit,  kalau lo nyuruh gue diem mending gue pulang ajalah, ada kerjaan juga gue, sial lo ya, nyuruh gue dateng cuma buat begini." Aku tak tahan dengan sikap Adit, laki laki yang sudah hampir sepuluh tahun aku k

Expectation is not our friends

"Ya kan dari awal juga udah dibilangin, makanya jangan berekspektasi!" Kata seorang teman kepada teman lainnya. Udah sering banget gak sih kalian mendengar tentang hubungan antara ekspektasi dan rasa kecewa. Sebenernya ekspektasi itu apa sih maknanya? kan yang kita tahu selama ini ekspektasi adalah sebuah harapan. Nah kalau ekspektasi adalah sebuah harapan berarti kita disarankan untuk tidak berharap dong kalau gak mau kecewa? Eits, tunggu dulu. Kita harus cari tahu dulu asal kata dan arti kata ekspektasi ini sebelum kita mengetahui kenapa sih orang orang seringkali mengaitkan kata ekspektasi dengan perasaan kecewa. Ekspektasi sendiri diadaptasi dari bahasa Inggris yaitu Expectation  di mana kata dasarnya adalah expect   yang artinya adalah mengharapkan/menduga/menyangka. Sehingga ekspektasi adalah keyakinan kuat bahwa sesuatu akan terjadi atau menjadi masalah di masa mendatang (Menurut Prawiro, 2018). Sementara menurut Sutisna (2001) arti ekspektasi adalah suatu kepercayaan

Burung biru, kembalilah menyenangkan.

Berasa gak sih akhir-akhir ini lebih sering mendengar berita-berita tidak menyenangkan dibanding berita yang menyenangkan? Berasa capek banget rasanya, ya? Gue kira 2021 lebih baik ternyata baru hampir tiga minggu aja udah berasa eng ing eng! Gue hari ini kayak nginget aja momen tiga atau dua tahun lalu, sedang membayangkan betapa banyak hal-hal menyenangkan hadir dari segala sisi, kenal orang baru, ikut acara ini itu, ngobrol sama orang baru, ngerasa semangat atas pertemuan-pertemuan baru. Betapa menyenangkannya gue dengan leluasa dua tahun lalu bertemu anak-anak murid, bertemu teman-teman, gebetan, jalan ke sana ke sini keliling Jakarta sendirian, makan di kaki lima Jakarta sambil ngobrol sama pedagangnya, atau sekadar ngabisin waktu mentionan sama orang lain di twitter sambil rebahan di rumah . Terlalu banyak hal-hal sederhana yang manis. Sekarang, setiap gua buka twitter, gue merasa twitter gak semenarik dua atau tiga tahun lalu, yang gue lihat dan baca kalau gak bencana, ya orang