Tandas
"Maksudnya? kenapa kabar baik sekaligus buruk?" tanyaku dengan segala kebingungan yang Adit ciptakan hari ini.
Sial. Kenapa dia diam aja. Batinku.
"Dit," panggilku sekali lagi memaksa Adit untuk memberikan jawaban.
Adit mematikan puntung rokok yang dari tadi hanya bertengger di antara jari telunjuk dan jari tengahnya, "Res, bisa gak lo diem dulu, kepala gue sakit." Ucapnya ketus dan tegas dengan penekanan di akhir kalimatnya.
Sepuluh menit berlalu aku tidak juga mendapat penjelasan dari kalimat Adit.
Aku menghela nafas panjang, "Dit, kalau lo nyuruh gue diem mending gue pulang ajalah, ada kerjaan juga gue, sial lo ya, nyuruh gue dateng cuma buat begini." Aku tak tahan dengan sikap Adit, laki laki yang sudah hampir sepuluh tahun aku kenal, laki laki paling keras kepala yang ada di muka bumi.
"Res gue belom bisa sepenuhnya cinta sama Linda, gue gak tahu kenapa akhir-akhir ini gue selalu ngeliat Linda tuh dengan rasa kasihan aja." Bagaikan dilempar batu tepat di kepalaku, sakit kepala yang tiba-tiba menyerangku begitu saja.
"Bajingan lo ya, Dit,"
Seolah tidak terima dengan kata-kataku Adit menatapku dengan tatapan membunuh.
"Ngaca, Res. Kalau aja lo gak dateng malam itu, semuanya gak bakal begini. Gue bisa jadiin itu rahasia seumur hidup gue."
Aku tidak percaya apa yang dikatakan Adit malam ini, setelah tiga tahun kejadian itu berlalu Adit kini membahasnya lagi, "Linda itu adik gue dit, gak akan pernah gue biarin siapapun nyakitin dia, termasuk lo." Ucapku tegas, aku dan Linda memang tidak sedekat hubungan kakak dan adik seperti pada umumnya, kami sering sekali bertengkar, namun aku tetap menyayanginya dengan sepenuh hatiku, terlebih lagi saat ibu dan bapak sudah pergi meninggalkan kami, aku dan Linda hanya hidup berdua.
Aku menjatuhakn punggungku ke sandaran kursi, "Sorry, Dit. Gue cuma gak bisa bayangin hancurnya perasaan Linda saat dia denger ini,"
"Gue gak bisa nerusin Res," kalimat singkat yang Adit ucapkan melesat begitu saja menghantam jantungku,
"Dit,.." Belom selesai ucapanku Adit menyelak, "Res gue gak bisa terus bohongin Linda, gue malu sama lo, gue malu sama Linda."
Kali ini aku diam,
"Gue gak sakit Res, lo gak perlu jadiin adek lo obat buat gue, gue gak sakit. Lo tau? setiap kali gue liat Linda yang selalu nerima gue, selalu ada buat gue, perasaan gue juga sakit." Adit berhenti untuk menghela nafas, nafasnya berat dan pendek, pertanda dirinya sedang kacau.
"Gue gak bisa, gue masih aja ngebayangin apa yang gak harusnya gue bayangin," Kali ini Adit berhenti, dia mengambil botol plastik berisi air mineral dan menenggak air tersebut hingga tidak bersisa,
"Oke tapi tolong jangan jujur sama Linda, lo boleh batalin pernikahan lo sama Linda tapi jangan jujur sama dia, jangan bilang alasan yang sebenarnya."
"Lo yang bajingan Res, tega lo sama adik lo," ucapan Adit membuat air mata yang dari tadi sudah ku tahan lolos begitu saja,
Aku mengangguk, "Iya, gue bajingan, tapi lo tau Dit? Lo adalah gambaran dari kata sempurna buat adik gue, Linda dengan bangganya selalu ngomong mas Adit baik, mas Adit gak pernah kasar, mas Adit selalu ngelakuin hal hal yang membuat Linda bahagia, mas Adit yang perfect." ucapku memberi penekanan pada kata terakhir.
Adit diam, tatapan matanya kosong, aku tahu Adit benar-benar kalut malam ini.
"Gue udah nyoba Res, bertahun-tahun gue jalanin sama Linda." Adit menggaruk kepalanya frustrasi.
"Tapi lo tetep gagal? lo tetep aja cinta dia?" tanyaku kali ini to the point.
Adit mengangguk,
"Sorry Res, perasaan gue masih buat Angga." Ucap Adit seolah mengakhiri percakapan kita pada malam ini.
Sumpah serapah ingin sekali aku lontarkan di hadapan Adit, namun aku sadar dia yang memiliki kontrol penuh atas hidupnya, aku benci Adit, tetapi aku lebih benci diriku sendiri, kalau saja tiga tahun lalu aku tidak memaksa Adit untuk menjalin hubungan dengan adikku, semuanya tidak akan pernah seperti ini. Kalau saja aku membiarkan perasaan Linda bertepuk sebelah tangan, mungkin hasilnya akan lebih baik dibanding harus melihat Linda hancur karena tahu siapa Adit sebenarnya, harusnya aku tidak beranggapan bahwa Adit sakit dan bisa sembuh dengan adanya Linda. Seharusnya aku tidak merusak perasaan adikku sendiri.
Tiga tahun yang lalu aku memergoki Adit menjalin hubungan dengan Angga, aku merasa tidak terima dengan apa yang terjadi pada sahabatku, segala hal mulai dari menasihati sahabatku hingga menariknya paksa ke profesional help sudah aku lakukan, hingga muncul sebuah ide gila yang melibatkan Adikku, Linda. Linda yang sejak lama sudah ku tahu menyukai Adit sangat senang saat dia mendengar bahwa Adit ingin lebih dekat dengannya, yang sebenarnya atas paksaanku.
Mendengar Adit dan Linda semakin dekat, membuatku seolah terbang ke langit ke-7, mendengar bahwa cinta pertama yang selalu jadi impian adikku kini menjadi nyata membuatku hilang kendali, sampai aku lupa bahwa Adit melakukannya hanya untukku.
Ia tidak benar-benar ingin berubah. Ia masih saja berpikir bahwa kisah cintanya dengan Angga akan berujung bahagia, meski ku tahu Angga sudah lama sekali menghapus Adit dari kehidupannya. Adit bagi Angga adalah sebuah kesalahan, tapi tidak bagi Adit.
Segalanya selesai dan hancur begitu saja, seolah tidak ada yang bersisa. Aku pulang dengan langkah gontai, menyiapkan seluruh tubuhku untuk dibenci oleh Linda, adikku sendiri.
Aku lupa bahwa tidak semua akhir ditutup dengan kata bahagia. Aku yang terlalu percaya diri menganggap bahwa semua akhir akan diikuti dengan kata bahagia. Aku lupa bahwa ini bukan negeri dongeng. Kini semua tandas.
Komentar
Posting Komentar