Terakhir untukmu

Hai, rasanya ini sudah kesekian kalinya saya menulis tentangmu, saya berjanji ini yang terakhir.

Apa kabar? Sebenarnya sudah tidak perlu dijawab, kamu tentu baik-baik saja, sudah bisa dilihat dari apa yang kamu tunjukan.

Saya kira kamu sudah cukup dewasa untuk bisa menjelaskan situasi yang (pernah) terjadi di antara kita, saya pikir kamu sudah cukup mengerti tanpa harus diluruskan lagi bagaimana seharusnya perasaan kita berakhir, saya kira juga kita tidak perlu mengucapkan apapun karena kita bukan anak kecil lagi yang hanya bermain-main tanpa tujuan, saya pikir kamu datang -entah untuk kesekian kalinya- kali ini dengan maksud yang berbeda, tidak lagi untuk pergi. Saya pikir kita tidak sepenuhnya bercanda. Bukankah selama ini kita ada pada pikiran yang sama? Atau pikiran yang sama pun tidak selalu pada perasaan yang sama? dari awal situasi yang saya dan kamu maksud memang tidak pernah sama, bukan? Mungkin kamu hadir hanya untuk bermain-main. Tapi kesalahan saya adalah menyediakan tempat itu, tempat untukmu bermain.

Tapi tidak apa-apa, saya tidak pernah menyesal untuk itu. Saya tidak menyesal untuk mengenalmu.

Saya malu mengatakan ini, saya malu untuk mengatakan setiap kali kamu jauh dan saya tidak tahu kabarmu, ada saat di mana saya memikirkan tentangmu, lucunya saya merasa ada yang hilang padahal memiliki saja tidak, padahal kamu memang selalu jauh dan tidak pernah dekat. Mungkin hal ini sangat tidak mungkin untukmu, tapi ternyata hal yang dianggap tidak mungkin itu kini menjadi kemungkinan terbesar yang seringkali saya harus hadapi. Saya nggak tahu saya harus merasakan ini atau baiknya gak perlu merasakan ini. Ya mungkin tidak seharusnya seperti ini, tapi ini di luar kendali saya, di luar kendali saya bahwa saya jatuh cinta pada seseorang yang tidak pernah saya ketahui sosoknya. Seseorang yang hanya saya yakini ada di sebrang sana. Seseorang yang mungkin hanya menganggap saya anak kecil, yang sukanya hanya bermain-main.

Kamu tidak perlu mengerti hal ini karena saya sendiri tidak mengerti mengapa bisa. Pada kenyataanya saya tidak sebercanda itu denganmu. Sudah lebih dari dua tahun saya ada pada perasaan yang sama dan kini waktunya saya yang harus berhenti. Saya cukup kecewa saat kamu memutuskan untuk pergi begitu saja tanpa mengucapkan pamit, lalu memilih menunjukkan kepada dunia bahwa kamu sudah menemukannya, menemukan sosok yang selama ini kamu cari, mungkin itu terlihat jahat bagi saya atau saya saja yang selama ini ada pada perasaan yang salah. Perasaan yang mungkin hanya akan mengganggumu saja.

Iya saya salah, seharusnya saya bisa mencintai orang lain yang sosoknya lebih nyata. Seharusnya saya mencoba untuk membuka diri pada orang lain dan tidak pernah mencoba berharap akan ada waktu di mana saya bisa mengenalmu secara langsung, waktu di mana kita berbicara dengan saling bertatap, bukan dengan hanya mendengar suaramu dari sebrang sana. Saya salah saat saya bahagia dan merasa cukup hanya dengan mendengarmu berbicara. Dua tahun, dua tahun rasanya saya terombang-ambing dalam perahu yang sama, tidak tahu harus berlabuh ke mana.

Sampai akhirnya saya menemukan jawaban dari segala pertanyaan yang tidak berani saya ajukan. Jawaban bahwa sudah saatnya saya berhenti untuk mengganggu kamu, kamu punya prioritas yang harus kamu jaga dengan sebaik-baiknya sekarang dan saya memang tidak pernah masuk pada prioritas itu, maaf ya karena sudah lancang. Meskipun saya sedih tetapi saya lega, akhrinya kamu memutuskan bagaimana akhirnya, setelah dua tahun ini perahu saya tidak pernah berlayar ke tempat semestinya, terima kasih, ya.

Pergilah bersama sosok dewasa itu, semoga berbahagia. Saya janji saya akan terus baik-baik saja tanpa kamu. Kamu tidak perlu menjelaskan apapun kalau itu hanya akan merusak apa yang sudah ada, tolong berjanji juga untuk selalu bahagia. Selamat tinggal.

Pada kalimat terakhir ini saya memutuskan untuk melepasmu tanpa pernah memilikimu.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Singkat (Virtual Feeling #2)

Marigold

Deep talk