Kita yang mengizinkan

Pernah dengar kalimat ini?
"Tidak pernah ada satupun atau seorang pun yang akan tersakiti jika dia tidak mengizinkan dirinya merasakan itu" 

Aku lupa pernah mendengar atau membaca ini di mana dan siapa yang menyatakannya, yang jelas satu kalimat itu terus singgah dalam pikiranku, padahal sebelumnya aku tidak terlalu mengerti maksudnya, yang selama ini aku pahami, orang orang akan merasakan sakit meskipun dia tidak mengizinkan rasa sakit itu untuk menghampirinya, namun kini aku mulai memahami maksud kalimat tersebut.

Mungkin beberapa dari kita pernah atau sedang mencintai dan menyayangi orang lain melebihi diri kita sendiri? entah untuk hubungan apapun, bisa kekasih, sahabat, ataupun dengan si dia yang kita sendiri juga gak tau kejelasan hubungan yang kita miliki seperti apa.
Saat kita mencintai dia, seluruh dunia kita bagaikan terpusat pada dia, kebahagiaannya menjadi tujuan utama segala upaya yang kita lakukan, berulang kali kesalahan yang dia lakukan juga selalu mendapat ruang maaf dari kita meskipun kesalahan tersebut kian menyakiti kita, "Tidak apa-apa, asal dia tersenyum kembali", "Tidak apa-apa, ini tidak terlalu sakit, nanti akan sembuh dengan sendirinya", "Tidak apa-apa asalkan aku tetap bersama dia" 

Tidak apa-apa dan terus tidak apa-apa.
Tanpa kita sadari, memaklumi segala kesalahannya sudah menjadi kebiasaan bahkan keharusan untuk kita, dan dia mulai terbiasa pula untuk berpikir bahwa, tenang saja, sebesar apapun kesalahanku nanti juga akan dimaafkan. Kita yang memberikan izin untuk dia menyakiti diri kita sendiri. 

Mengedepankan perasaan orang lain hingga lupa bahwa kita juga punya perasaan yang harus kita jaga. Sibuk merawat dan menyembuhkan luka yang orang lain miliki namun lupa untuk menyembuhkan luka sendiri, atau malah kita sedang tidak sadar bahwa kini kita sedang terluka?

Atau justru sebenarnya kita tahu bahwa dia salah dan kita sedang terluka namun enggan untuk pergi karena berharap suatu saat, waktu akan mengubah dia menjadi lebih baik, belum apa-apa udah lupa bahwa dia tidak akan pernah berubah jika tidak dirinya sendiri yang ingin berubah, meski nantinya satu dua atau bahkan sepuluh tahun lagi kamu mengorbankan dirimu untuknya. 

Saat mencintai kita lupa untuk meninggalkan setengah hati kita untuk diri kita sendiri, agar jika nanti dia pergi kita masih punya kekuatan untuk bertahan. Kita masih punya hati untuk siap menghadapi yang terjadi tetapi yang terjadi sebaliknya, saat mencintai dia kita memberikan seluruh hati kita untuknya. Membiarkan porsi bahagia dia lebih banyak dari bahagianya kita.

Bahkan saat dia merasakan sedih, kita menggunakan seluruh energi yang kita miliki untuk mengisi daya orang lain, andai saja ada kata saling dalam hubungan kita. Andai saja kita saling membantu untuk mengisi daya, aku membantumu dan kamu membantuku, kita saling membantu, tapi sayangnya itu hanya perandaian.

Nyatanya, tidak.


Aku yang memang bodoh untuk terlambat menyadari bahwa aku yang membiarkan segalanya terjadi, memberikan izin kamu melakukan hal yang ingin kamu lakukan padaku. Memaafkan memang baik tapi selama bersamamu aku jadi melupakan bahwa kadang kala merelakan dan melepaskan juga bisa jadi jalan terbaik.

Aku ingin menolong diriku sendiri sebelum aku kehilangan diriku.
Tidak apa-apa untuk sesaat aku merasa bahagiaku hilang, mungkin ke depannya aku juga akan merasakan perasaan yang sulit untuk digambarkan pada seseorang yang hatinya sedang berbahagia, 
tidak apa-apa segalanya akan pergi dan meninggalkanku, yang terpenting dari semua ini adalah aku tidak kehilangan diriku.


Mari menyelamatkan diri sendiri, sebelum ia hilang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Singkat (Virtual Feeling #2)

Marigold

Deep talk