Berkelana

Sudah kusisiri belahan kota ini, pergi mengelilingi tiap sudut tempat yang menjadi harapanku tiada kamu. Berharap segera bayangmu enyah. Aku ingat malam di mana kota ini terasa sangat begitu dingin. Menusuk rangka-ku, malam di mana kamu mengatakan bahwa kamu sudah tidak bisa melanjutkan perjalanan bersamaku lagi. Cintamu telah usai, katamu.
Malam itu, setelah apa yang kamu ucapkan padaku, kamu pamit dengan begitu tergesa-gesa, seolah-olah ada pintu lain yang akan kamu ketuk setelah ini. Kamu menghiraukan pintaku untuk menetap sebentar lagi. 

Aku menerka apa yang sebenarnya terjadi.
Tatanan rambutmu sama seperti saat kamu memintaku untuk menetap. Wangi tubuhmu seperti mengingatkan kembali saat-saat di mana kamu memintaku untuk menjadi wanitamu. Sekarang kamu mengulang lagi hal yang sama namun tidak dengan aku di dalamnya, kamu ingin menggantikan sosok wanita beberapa tahun yang lalu. Kamu memilih jalan yang tidak ada aku lagi di dalamnya.

Siapa dia? tanyaku ganar.
Wanita mana yang dapat mengubah kamu menjadi lelaki pembohong?
Wanita mana yang tega menghancurkan dongeng yang telah aku bangun susah payah, demi menghidupkan dongeng miliknya. 
Wanita mana yang telah merenggut takdirku begitu saja. Membuatmu berpaling dariku.

Aku tidak bisa diam dalam ganar, hanya menerka bak permainan teka-teki. Malam itu aku putuskan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara kita. Kisah seperti apa yang akan kamu bangun bersamanya. Katakan saja aku sudah melewati batas dalam mencintaimu, meskipun aku tidak pernah tahu batasan itu seperti apa.

Dari kejauhan aku menatap punggungmu. 
Punggung yang dahulu aku harapkan tidak pernah aku lihat, aku benci ketika kamu berjalan memunggungiku, seakan-akan kamu sedang meninggalkanku dan kini, saat ini apa yang selama ini aku takutkan kini menjadi kenyataan. 

Sial, batinku.

Kala itu kamu seperti menghunus pedang yang sedang tertancap dalam tubuhku. Sakit yang berlipat saat aku menyaksikan ada tangan lain yang kini mengisi ruas di jemarimu. Tepat setelah kamu mengakhiri kisah denganku.

Itu tempatku!
Ingin sekali aku berteriak dan menarik kamu kembali ke dalam pelukanku tapi kakiku terhenti mengingat apa yang sudah kamu ucapkan. Kamu telah mengakhiri semuanya, cerita kita telah usai. Ruas di jemarimu itu bukan tempatku lagi.

Kita telah usai.

Dan sekarang, di tempat kesukaan kala kita ingin menghabiskan waktu untuk bertukar cerita (saat-saat dulu; bersama) aku mengingat kembali perihal mengiris hati malam itu. Ramai tak lantas menghentikan pikiranku untuk berandai-andai. Aku ditemani segelas coklat panas malam ini, harusnya pikiranku hadir tetapi ia malah sibuk berkelana, terbang entah jauh ke mana.

Setiap benda di kedai ini seakan-akan sedang berbicara denganku, mereka bertanya mengapa kini aku tak lagi datang bersamamu, lantas bagaimana aku menjawabnya?

Satu hal yang aku sadari, kemana pun aku berkelana, setiap sudut kota ini akan selalu mengingatkan tentangmu. Lalu haruskah aku berkelana lebih jauh agar tak lagi bayangmu yang terlihat?




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Singkat (Virtual Feeling #2)

Marigold

Deep talk