Prostitusi dan gaya hidup

Prostitusi atau pelacuran menurut KBBI adalah suatu pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan. Di Indonesia sendiri prostitusi sedang ramai diperbincangkan. Khusunya tentang prostitusi online. Sebenernya gue gak kaget sih ketika mendengar berbagai berita tentang public figure yang ikut terlibat dalam bisnis ini. Bisnis ini juga merupakan bisnis yang tidak mudah untuk dibasmi, karena banyak sekali jejaringnya, banyak pelakunya. Gue gak mau bahas soal individu yang namanya sedang ramai dibicarakan. Karena gak ada hak gue untuk menjudge mereka. Gue cuma mau menyampaikan opini gue tentang prostitusi ini secara umum, bukan membahas nama pelakunya.

Prostitusi sendiri sangat lekat kaitannya dengan perempuan, padahal nyatanya bukan hanya kaum perempuan yang banyak terlibat dalam bisnis ini. Banyak juga kaum laki-laki yang berperan sebagai "penawar jasa" bukan hanya "pengguna jasa".  Lalu apa sih yang mendorong pelaku untuk berkicimpung di bisnis ini?
Menurut gue banyak hal, salah satunya karena kebutuhan pemenuhan "gaya hidup", bukan soal tentang tuntutan hidup, hidup tidak pernah menuntut pelakunya untuk berbuat asusila. Kalau hanya sekedar makan dan berpakaian, tidak perlu uang puluhan juta hingga ratusan juta, banyak pekerjaan lain yang dapat mencukupi kebutuhan sandang dan pangan kita. Tapi terkait tentang prostitusi, kita bicara tentang gaya hidup. 

Ketika hidup kita sudah dipersembahkan bukan untuk diri kita sendiri maka pemenuhan gaya hidup yang "tidak seharusnya" menjadi sebuah kewajiban yang harus ditunaikan bagi pelakunya. Hidup untuk "mengenyangkan" mata orang lain membuat kita tidak pernah menemui titik puas. "Gue harus pake ini pake itu, malu kalo nggak pake barang ber-merk." "Beli ini uang gak cukup, ada sih yang lebih murah tapi merknya begini" "Gimana ya cara dapet uang cepet? biar bisa beli ini itu, biar bisa ke sini ke situ, biar bisa ngelakuin perawatan ini dan itu."
Dan pertanyaan dan pernyataan lain yang diperuntukkan untuk memuaskan hasrat orang lain. Yang sebenarnya ketika kita gak melakukan itu atau memenuhi gaya hidup itu juga tidak masalah. Lebih sederhananya gue analogikan.

Misalnya ketika gue ingin membeli sebuah telepon genggam. Gue memiliki uang sekitar dua juta rupiah. Sebenarnya gue bisa membeli telepon gengam dengan harga segitu namun ketika pola pikir gue berubah maka gue membangun tuntutan dalam pemenuhan gaya hidup gue. Karena gue melihat teman-teman gue memakai telepon genggam yang lebih bagus dan lebih "ber-merk" maka gue berpikir bahwa gue juga harus membeli telepon genggam yang serupa, agar tidak kalah gengsi. Maka dari pikiran tersebut muncul pertanyaan "dari mana dan bagaimana cara gue mendapat uang yang banyak dengan cara cepat?" Bagus jika hal tersebut memotivasi gue untuk bekerja lebih giat dengan cara yang halal namun kalau nyatanya gue tidak berpikir demikian? 

Mirisnya, tanpa kita sadari kita sering menjadi orang yang membuat pola pikir orang lain tentang gaya hidup berubah. Ketika ada teman yang membeli barang baru, apa yang pertama kali kita tanyakan?

Merknya apa?

Merk menjadi tidak berarti bagi sebagian orang namun berbeda dengan sebagian orang lainnya. Ada orang lain yang merasa bahwa pertanyaan ini sebuah senjata yang dapat menyakitkan harga dirinya. Lagi pula apa pentingnya sih sebuah merk yang dikenakan pada tubuh orang lain dalam hidup kita?
Kenapa ketika mereka sedang berbahagia membeli barang tertentu harus kita usik dengan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menjadi sangat sensitif bagi mereka. Gue gak menyalahkan karena bisa jadi tanpa disadari gue juga menjadi pelakunya, tapi hal ini membuat gue berkaca dan berusaha untuk meminimalkan gaya hidup dan sebuah hubungan yang mengubah pola pikir gue ke arah yang tidak tepat. Membuat diri gue harus memenuhi apa yang sebenarnya gak gue butuhkan dalam hidup. Seandainya gue menginginkan sesuatu maka gue harus persembahkan itu untuk kenyamanan diri gue sendiri bukan untuk pemenuhan gengsi akibat omongan orang lain.

Memang yang terjadi pada kita adalah murni tanggung jawab kita, kita gak bisa salahkan orang lain atas perilaku kita, kita memegang kontrol paling besar atas diri kita sendiri. Namun kita juga harus ingat, tidak semua manusia bisa berpikiran hal yang sama, jika kita bisa berbuat lebih baik pada orang lain mengapa tidak? 

Prostitusi dan gaya hidup memang tidak selalu berkaitan namun tidak juga dapat dipisahkan. Gue gak tau sih mungkin ada hal lain yang membangun alasan pelaku prostitusi ini, namun menurut gue gimanapun kondisi kita saat ini, kita harus mencintai diri kita sendiri termasuk tubuh kita. Tubuh kita lebih berharga dari nominal uang sebesar apapun, tubuh kita lebih berharga dari barang yang akan kita beli.

Ohya gue juga semalem baca komen-komenan di FB soal mengapa sih pengguna jasa prostitusi ini tidak dikenakan hukuman? yang gue tau karena belom ada pasalnya, jadi pihak berwajib juga gak bisa memberi tindakan, yang ada hanya sanksi bagi yang mendirikan tempat prostitusi, itu sudah diatur dalam pasal 296 KUHP. Untuk pemakai/pengguna jasa prostitusi ini yang ada hanya PERDA pasal 42 ayat (2) Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum ("Perda DKI 8/2007"). Untuk lebih lanjutnya teman-teman bisa cari tahu sendiri soal kebijakan ini karena gue gak punya kapasitas untuk menjelaskan lebih lanjut. 

Satu lagi yang mau gue sampaikan adalah, lagi-lagi jangan ikutan membakar api di media sosial seorang yang sedang ramai diperbincangkan, terlebih lagi dengan kata-kata yang tak pantas. Tunjukan bahwa generasi muda Indonesia bisa beropini dengan bijak, bisa beropini dengan santun tanpa melanggar etika yang ada dan juga tanpa menyakiti orang lain dengan sengaja. 

Sekalipun mereka melakukan tindakan yang tidak benar bukankah perilaku menghakimi tidak dapat dibenarkan juga?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Singkat (Virtual Feeling #2)

Marigold

Deep talk