Bersimpati dan berempati dengan tepat
Heran.
Satu kata yang muncul begitu gue melihat isi komentar di ig para korban bencana di daerah Tanjung Lesung. Indonesia sedang berduka dan melihat tanggapan para netizen membuat gue makin berduka. Gue tahu bahwa di hati kecil mereka sebenarnya memiliki niatan baik tetapi mungkin penyampaiannya tidak dengan cara yang baik sehingga menimbulkan ketidakbaikan.
Emangnya apa yang ada di benak kalian ketika kalian ketika mengomentari sebuah postingan di akun korban bencana dengan kata-kata menyudutkan si korban?
Kata-kata seperti "Azab karena berbuat begini atau begitu lah", "kasian dia udah meninggal tapi belom sempet tutup aurat", dan hal lainnya yang membuat gue sedih melihatnya.
Kenapa sih kita gak belajar buat bersimpati dan berempati dengan cara yang tepat? Maksud gue saat kita bersimpati dan berempati atas sesuatu yang terjadi pada orang lain tolonglah bersimpati dan berempati dengan tulus tanpa niat ingin merasa benar atau menjatuhkan dia. Bayangin aja gimana rasanya jadi keluarganya yang lagi berduka tapi bukannya diberi dukungan malah dihujani ucapan-ucapan yang membuat mereka sedih. Mereka udah cukup tersakiti dengan kehilangan orang yang disayang, gausah ditambah-tambahin.
Lagipula kita gak pernah tahu seberapa banyak amal baik yang orang lain lakukan. Seburuk apapun orang itu terlihat di mata manusia, ia pasti memiliki kebaikan dalam dirinya, gue percaya bahwa semua manusia selalu memiliki kebaikan. Sangat keterlaluan kalo masih ada manusia yang sempet-sempetnya berkomentar soal azab di media sosial korban bencana.
Soal hijab serta foto salah satu almarhum yang masih terpampang di ig membuat banyak pro dan kontra dari berbagai pihak juga.
Emang bener ketika mereka bilang bahwa menutup aurat dalam kasus ini seperti memakai jilbab/hijab merupakan suatu kewajiban bagi muslimah, pun terlepas dari akhlak muslimah itu sendiri. Mau seperti apapun akhlak muslimah tersebut jilbab tetap menjadi kewajiban bagi seorang muslimah, namun yang harus sangat digaris bawahi adalah cara penyampaiannya.
Lagipula, kita harus menghargai setiap keputusan orang lain tentang hidupnya. Proses orang lain mengenal dirinya, mengenal Tuhannya dan hal lainnya yang tidak ber-hak untuk kita paksakan sesuai kehendak kita.
Lagipula, kita harus menghargai setiap keputusan orang lain tentang hidupnya. Proses orang lain mengenal dirinya, mengenal Tuhannya dan hal lainnya yang tidak ber-hak untuk kita paksakan sesuai kehendak kita.
Jika memang bertujuan mengingatkan maka pilihlah cara yang tepat, pilihlah waktu yang tepat dan pilihlah tempat yang tepat pula. Mengingatkan disaat orang lain sedang merasa berduka menurut gue pribadi bukan waktu yang tepat, mengingatkan dengan kata-kata yang menyebalkan di media sosial milik orang lain bukan tempat yang tepat pula, terlebih lagi menggunakan kata-kata seperti azab, dosa jariyah, dll., yang malah terdengar seperti ancaman bukannya sebuah pesan untuk saling mengingatkan.
Gue tahu, untuk belajar bersimpati dan berempati dengan orang lain gak mudah, namun bukan berarti mustahil untuk dilakukan. Gue bukan orang yang jago juga buat bersimpati dan berempati, tapi gue juga masih belajar buat bersimpati dan berempati dengan cara yang tepat. Mamah selalu bilang sama gue kalo gue gak bisa ngasih kebahagiaan ke orang lain paling nggak jangan nyakitin dia, meskipun itu susah tapi selama kita punya kontrol untuk gak nyakitin orang lain, ya jangan.
Sebentar lagi juga tutup tahun 2018, gue berdoa semoga 2019 nanti kita bisa sama-sama belajar buat bersimpati dan berempati dengan cara yang tepat, dengan tetap menghargai bagaimanapun individu tersebut. Murni bersimpati dan berempati tanpa ada bumbu lain untuk menunjukan bahwa dia salah dan kita benar.
Komentar
Posting Komentar