Teknologi Sebagai Bumbu dari Bullying




Kenapa manusia jaman sekarang hobi banget memperolok keistimewaan manusia lainnya?

Dijaman yang sudah secanggih ini harusnya otak dan mental kita sebagai manusia sudah lebih canggih dan berkembang, tapi nyatanya kita malah jadi budak teknologi, sewaktu teknologi dibuat memang bertujuan untuk membantu manusia tetapi sekarang tujuan tersebut bergeser menjadi manusia yang membantu teknologi. Manusia sekarang lebih menggantungkan hidupnya pada teknologi dibandingkan dengan kemampuan manusia lainnya. Kita sebagai manusia di era saat ini terkesan seperti sedang  membantu teknologi untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih dibanding dengan kekuasaan manusia itu sendiri.

Berkenaan dengan pendapat yang gue sampaikan diatas, gue akan mengaitkan dengan kasus yang baru-baru ini marak, yaitu tentang bullying yang terjadi di salah satu kampus swasta yang berada di bilangan, Depok, Jawa Barat. Pada video yang beredar dapat kita saksikan bahwa ada sesorang yang diduga menjadi korban bullying (kenapa gue bilang diduga, karena kasus ini masih diusut juga sama pihak berwenang, gue gak berhak buat mendjudge bahwa dia merupakan korban bullying sebelum kasusnya di klarifikasi, meski sebenernya gue pribadi emosional ketika menonton video tersebut.)

Kurang lebih tiga orang mahasiswa dalam video tersebut terlihat sedang mengusik seorang mahasiswa lainnya, yang ternyata mahasiswa tersebut termasuk mahasiswa berkebutuhan khusus, hingga menyebabkan mahasiswa tersebut marah dan melemparkan tong sampah ke kerumunan mahasiswa yang tadi mengusiknya.

Oh God, mungkin bagi sebagian orang hal ini lucu dan dianggap hanya candaan. But it’s a matter seriously , it’s not just a joke!

Kalo kalian nonton video ini kalian pasti merasa kesal pada tiga orang mahasiswa yang berlaku tidak layak sebagai mahasiswa, tapi saat gue nonton video tersebut atau video yang serupa dengan video  itu, ada hal yang jauh lebih gue keselin dari pelaku tersebut, yaitu adalah orang yang berada di lingkungan tersebut tetapi hanya menjadi penonton dan seakan menikmati adegan demi adegan, dan yang kedua adalah orang yang berada di lingkungan tersebut namun hanya sibuk meng-insa storykan kejadian tersebut, sementara dia punya kesempatan untuk menghentikan kegiatan bullying tersebut. Gue paham, mungkin dia bermaksud mem-videokan  untuk menjadikannya barang bukti atas tindakan tidak senonoh tersebut, tapi apa dia harus ngorbanin temannya sendiri menjadi bahan lelucon? Apa dari sekian banyak orang disana hanya memegang hp dengan tangan kanannya sambil mulutnya bilang “ih parah banget”,  “kasian”,  “udah eh berenti, kasian tau” sementara hpnya tetep on mem-videokan adegan tersebut tanpa ada aksi nyata untuk menghentikan kegiatan tersebut,  sangat konyol bagi gue.

Gue menulis ini bukan tanpa tujuan dan alasan, gue menulis ini bukan hanya karena gue berlatar belakang sebagai calon pendidik khusus. Gue menulis ini bertujuan untuk mengingatkan diri kita semua (termasuk gue sendiri) bahwa gak seharusnya kita menjadikan teknologi sebagai pelengkap bullying.  
Dan juga bullying yang saat ini sering terjadi bukan hanya melibatkan aktivitas fisik, melainkan melibatkan aktivitas verbal pula. Dan hal tersebut disadari maupun tidak, sering sekali kita alami dalam lingkungan kita.

Guys, kalo kalian merasa candaan di lingkungan kalian masih seperti ini: - tandanya lingkungan kalian gak sehat, terutama secara mental,
“mainan hp mulu lu kayak autis!”
“hahahaha cacad banget lu jalannya, kocak”
“idiot emang dasar, begini aja gak bisa.”
“budeg lu ya, dipanggil gak denger.”
“mata lu buta kali ya, orang ini di sini….. dll.”
“dih ayan..”
“gak waras lu ya, sana ke rsj.”
“gak bisa diem banget kayak anak Autis.”
Dan kalimat-kalimat lainnya yang menurut sebagian besar orang gak bermakna dan hanya bertujuan untuk bercanda.

Sampai kapan kalian mau berada di lingkungan yang seperti itu?
Stop.
Berhenti aja,

Jangan mau berada di lingkungan yang gak pernah bisa menghargai perbedaan, karena suatu saat nanti diri kita sendiri yang  tidak akan dihargai oleh orang lain.
Jangan mau berada di lingkungan yang gak pernah mau berubah menjadi lebih baik, karena suatu saat nanti kita akan sadar betapa tidak baiknya diri kita saat semuanya berbalik menyerang kita.
Jangan mau berada di lingkungan yang hanya mau jadi penonton, bukan pemain. Sebaik-baiknya penonton masih lebih baik dari seorang pemain yang (katanya) buruk.

Gue jadi mikir, kalo kita ada di posisi orang yang diberlakukan tidak adil seperti di video tersebut, dan kita berada pada lingkungan yang kurang aware akan hal ini , pasti terasa menyesakkan ya. Ketika kita mengalami hal tersebut lalu video tersebut beradar di media sosial teman kita, bahkan sudah menyebar ke media sosial orang yang gak kita kenal, tentunya kita akan merasa sakit hati dengan pelaku yang udah memperlakukan kita dengan segitu tidak baiknya, tapi bukannya kita lebih sakit hati dengan penonton yang hanya menikmati adegan jatuhnya kita tanpa mau bertindak untuk menolong kita?

Guys, ayo mulai sekarang kita jangan hanya menjadi penonton bila melihat kasus bullying seperti ini, jika kita mau lingkungan kita berubah menjadi sehat bukannya harus ada satu dokter yang berusaha mengobatinya? Ayo, kita berusaha menjadi dokter bagi korban bullying, ayo kita berusaha menjadi dokter yang mampu mengobati lingkungan kita yang sudah tidak sehat.

Dan gue mohon banget, tolong tahan ego kita (termasuk diri gue sendiri) untuk mengupload sembarang video hanya untuk mendapat followers atau like di media sosial.. jika itu bermaksud untuk memberi hukuman secara sosial kepada si pelaku, gue nggak menyalahkan hal tersebut, namun akankah lebih baik video tersebut diserahkan saja langsung kepada pihak berwenang? Atau minimal jika kalian merasa perlu untuk menguploadnya tolong jangan perlihatkan wajah korban dengan begitu jelasnya. Tolong hargai mereka juga, karena terkadang kita lupa bahwa sebenarnya mereka punya rasa malu juga..

Kadang, hal yang lebih menyakitkan bukan saat jatuh, namun disaat kita jatuh dan teman kita hanya menertawakan tanpa berniat membantu.

Coba tanya pada diri kalian, jika video kalian yang sedang dipermalukan beredar dengan wajah kalian yang terlihat jelas, apa kalian merasa baik-baik saja?

Sebelum kita meminta lingkungan kita berubah, baiknya kita dulu yang berubah ya? :)

Kadang kita lupa, kasus bullying terasa sangat lengkap ketika teknologi berada di dalamnya. Padahal seharusnya teknologi dapat menjadi sarana kita untuk menghentikan bullying tersebut bukan menjadikannya bumbu penyedap bullying, bayangkan jika tanpa disengaja perilaku kita yang mengunggah satu video bullying tanpa ada kepentingan apapun di dalamnya dan dengan wajah korban yang sangat jelas terlihat, lalu video tersebut ditonton oleh anak-anak yang berada di bawah umur dan tanpa pengawasan? Bukannya hal yang tidak mungkin mereka akan menirunya? Atau ketika video tersebut beredar padahal korban sedang berada di masa penyembuhan dari traumanya, bukankah itu malah menyebabkan korban semakin terpuruk?

Terkadang niat baik kita tidak berada pas pada tempatnya, jika sudah seperti itu ketidakcocokkan yang malah terlihat jelas.

Tapi buat diri gue pribadi, gue berterimakasih karena video tersebut dapat gue tonton, walaupun ada rasa kecewa gue jika gue melihat dari sisi yang lain, namun setelah menonton video tersebut gue jadi lebih mikir, apa yang harus kita lakukan untuk memutuskan rantai bullying atau paling tidak mengurangi  bullying tersebut agar tidak menjadi akar yang menyebar.

Kita bisa memilih, apa yang harus kita lakukan? Diam seolah tidak berarti, seolah menunggu sampai kita atau kerabat dekat kita yang menjadi korbannya? Berbicara hanya untuk menggugurkan kewajiban? Me-reuploadnya agar mendapat banyak viewers? Atau kita melakukan sesuatu sebagai langkah untuk melakukan perubahan?

Jangan lupa untuk saling mengingatkan dimanapun kita berada! 


Ratna Maryawi, 17 Juli, 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Singkat (Virtual Feeling #2)

Marigold

Deep talk